Denpasastra.net
Resensi

Resensi Album Debut Zat Kimia (2017)

Mendebat Kandungan Nutrisi ‘Candu Baru’

Candu Baru adalah album musik karya Zat Kimia—band rock alternatif asal Bali—yang rilis 2017 silam. Beranggotakan Ian Joshua Stevenson (gitar, vokal), Edi Pande Kurniawan (bass), Nobertus Rizki S. (drum), dan Bimo Haryputra (gitar), album ini sejatinya merupakan karya debut sejak kugiran ini dibentuk pada 2010 silam.

Berisi 10 lagu yang liriknya kebanyakan ditulis dalam bahasa Indonesia, Candu Baru menawarkan rumusan pop alternatif ringan dengan tema yang mengawang-awang dalam balutan musik modern ala rock tiga jurus: sederhana, nyaman, dan easy listening.

Yang menarik, alih-alih mengekor pada tren musisi rock seangkatannya, trio asal kota Denpasar ini menempatkan biduk musikalitas mereka pada corak yang cukup jarang dipraktikkan musisi lokal: distorsi yang clean, aransemen yang hemat, dan progresi kord yang terukur, sambil mengusung tema yang mudah dicerna. Sebuah pilihan yang cerdas, atau setidaknya strategis, mengingat pendengar hari ini lebih tertarik pada sesuatu yang simpel dan instan dibanding musik yang mengharuskan mereka berpikir.

Meski demikian, Candu Baru menurut hemat saya seperti produk yang dirancang dengan pemikiran ‘pasar’ yang cukup matang. Dengan gaya yang efisien dan lirik yang relatable, album ini hampir seperti makanan cepat saji: dikemas menarik, bisa dinikmati semua orang, tapi jika ditelaah lebih jauh, kadar nutrisi yang ditawarkan bisa jadi masih perlu diperdebatkan.

Atmosfer musik yang dibangun dalam album ini mengingatkan saya pada karya-karya Vessel dalam album Hyper (2002) di bawah Warner Music Indonesia atau Kaimsasikun dalam Self Titled (2004) yang berada di bawah Trinity Optima Production. Tak heran bila meski Zat Kimia bergerak di jalur independen, aroma kompromi terhadap pasar begitu terasa. Seolah-olah ada dorongan laten untuk tetap relevan dan memperluas jangkauan pendengar, tapi tanpa harus benar-benar mengambil risiko musikal yang besar.

Baca Juga  Review Buku Kumcer 'Manusia Manusia': Kisah yang Menjalar dari Ingatan ke Imajinasi

Tak pelak, secara musikalitas, Zat Kimia menjauh dari kultur rock yang raw, dirty, dan sulit ditebak. Lewat Candu Baru, spontanitas dan enigma seperti sengaja ditiadakan, digantikan oleh formula yang lebih tidy dan market-friendly. Tentu ini bukan sesuatu yang buruk, hanya saja, bagi mereka yang berharap akan eksplorasi yang lebih liar dan penuh kejutan, album ini mungkin terasa terlalu safe.

Namun, jika ada yang perlu disorot, maka itu adalah bagaimana album ini mengusung kritik terhadap teknologi dengan cara yang… agak problematis. Simak saja lirik dari track Candu Baru berikut:

Selamat datang di dunia maya, tempat jiwa-jiwa kelaparan
Gara-gara dunia baru, kuperangkap di dalam jarinya
Yeee
Wooo
Sialan
Ku jadi candu

Lirik ini terdengar seperti seseorang yang mengumpat karena jatuh ke dalam lubang yang ia gali sendiri. Siapa yang sebenarnya harus disalahkan dalam kecanduan digital ini? Pengguna yang tidak bisa mengontrol diri, pengembang teknologi, atau budaya yang membentuk ketergantungan ini? Alih-alih menggali lebih dalam pertanyaan ini, Zat Kimia justru lebih sibuk mengutuk keadaan, tanpa menawarkan perspektif baru.

Di beberapa lagu lainnya, seperti Feromon atau Frekuensi, liriknya lebih banyak bermain dengan metafora dan ekspresi yang abstrak:

Ada semacam zat kimia
Dia satukan dua manusia
Seperti yang kualami ini

Atau dalam Aku:

(aku) hanya mau rasakan apa yang ku mau rasakan
(aku) hanya mau mendengar apa yang ku mau dengar

Di sini, tampak bahwa Zat Kimia lebih memilih pendekatan individualistis daripada membangun kritik yang lebih tajam terhadap fenomena sosial. Lagu-lagu ini cenderung merayakan perasaan pribadi ketimbang memberikan komentar yang lebih luas tentang dunia yang mereka coba kritik di awal.

Baca Juga  Kurt Cobain dan Panggung Perpisahan yang Tak Direncanakan

Lebih jauh lagi, di beberapa lagu seperti Dimanakah Dia dan Waktu dan Aku, ada kecenderungan untuk merayakan kepasrahan dan pencarian juru selamat, yang justru berlawanan dengan kritik teknologi yang mereka usung di awal. Ini membuat album ini seperti mengalami krisis identitas: di satu sisi ingin mengkritik kecanduan digital, tapi di sisi lain justru larut dalam euforia akan fenomena itu sendiri.

Lewat Candu Baru, Zat Kimia tampaknya ingin menyederhanakan kompleksitas dampak media sosial, seolah-olah seluruh problematika ini hanya tentang manusia yang lemah dan teknologi yang jahat. Padahal, isu ini jauh lebih kompleks, melibatkan faktor budaya, ekonomi, hingga politik. Kritik terhadap teknologi seharusnya tidak sekadar berhenti pada umpatan sialan, tapi juga menyadari bahwa internet dan media sosial telah membawa perubahan sosial yang signifikan, baik positif maupun negatif.

Jadi, alih-alih sekadar bernostalgia ke era pra-digital atau menyalahkan teknologi secara simplistik, mungkin akan lebih menarik jika album ini justru menawarkan perspektif yang lebih tajam: bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan kecanduan digital ini tanpa kehilangan kendali atas diri sendiri?

Pada akhirnya, Candu Baru tetaplah album yang layak disimak. Ia menawarkan pengalaman mendengar yang ringan, nyaman, dan enjoyable, meski bagi sebagian orang, mungkin terasa seperti gula-gula: manis di awal, tapi kurang menggigit setelah dicerna lebih lama; Ia bagus untuk sugar rush, asal jangan sampai diabetes ya.

 

Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi