Denpasastra.net
Esai

Pernyataan Thom Yorke Soal Gaza: Dari Cancel Culture Sampai Harapan Kemanusiaan

Who’s in a bunker? Who’s in a bunker?
Women and children first and the children first, and the children

Idioteque

***

Di tengah keriuhan algoritma dan berisiknya opini soal apa yang terjadi di Gaza, satu suara datang dari sosok musisi yang paling banyak disalahpahami dua tahun belakangan: Thom Yorke.

Pada 30 Mei 2025 kemarin, vokalis Radiohead yang selama kariernya dikenal lewat lagu-lagu tentang paranoia modern, isolasi, dan manusia yang kalah oleh sistem, akhirnya memecah sikap diamnya lewat sebuah unggahan Instagram yang lebih terasa seperti surat terbuka daripada pernyataan politik. Isinya bukan slogan, bukan juga sikap ambigu khas umumnya seniman. Tapi sebuah seruan, keras, jernih, dan mungkin tak nyaman bagi mereka yang terbiasa membaca konflik dengan kacamata dua warna.

Yorke tak bicara soal ‘perang’. Ia menyebutnya dengan nama sebenarnya: kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh pemerintahan Netanyahu terhadap warga Gaza. Sebuah rezim yang ia sebut ‘ekstremis yang tak terkendali’ dan harus dihentikan. Tapi Yorke juga tak menutup mata pada serangan-serangan dari Hamas yang memilih bersembunyi di balik penderitaan rakyatnya demi kepentingan mereka sendiri. Kekerasan tetaplah kekerasan, bahkan jika dilakukan oleh mereka yang tertindas.

Sumber foto: The Guardian

Gaza sendiri adalah wilayah kecil yang padat penduduk di Timur Tengah, tempat jutaan orang hidup dalam kondisi sulit akibat konflik berkepanjangan. Sejak Oktober 2023, Gaza kembali dilanda kekerasan hebat. Ribuan nyawa sipil melayang, bantuan kemanusiaan diblokade, dan dunia sekali lagi terpecah: antara simpati tulus dan aktivisme performatif yang sering berakhir sebagai debat sengit di layar ponsel.

Yang Yorke sorot bukan hanya konflik bersenjata, tapi juga konflik batin kita sendiri: tentang bagaimana kitadi dunia yang terus-menerus online, memaksa orang untuk memilih sisi, menyuarakan sikap. Sikap diam diam lalu ramai-ramai dicap tak peduli. Di sinilah letak diagnosis Yorke: media sosial telah mengaburkan batas antara empati dan performa.

Baca Juga  Merayakan 25 Tahun Album OK Computer – Radiohead

Tak heran bila Yorke menolak terjebak dalam perburuan social media witch-hunts sebagai modus cancel culture yang banal. Ia melihat betapa mudahnya kita diperdayai bahwa share story atau retweet sama dengan perjuangan. Bahwa ‘bersuara’ tanpa konteks adalah keberpihakan. Di sini Yorke meletakkan cermin ke hadapan muka kita semua sendiri: siapa yang sebenarnya kita bantu, ketika lebih sibuk menjaga citra moral di Instagram ketimbang memahami?

Selama berbulan-bulan, diamnya Radiohead dianggap mencurigakan. Yorke, yang sepanjang kariernya membangun reputasi sebagai penulis lagu tentang alienasi, perang modern, dan absurditas dunia digital, justru dituding apatis dalam tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung. Padahal, diamnya bukan karena acuh, melainkan karena takut meremehkan tragedi hanya dengan satu atau dua kalimat.

Kini, ia menjelaskan: diamnya bukan karena acuh, tapi karena takut meremehkan tragedi hanya dengan satu dua kalimat. Namun, diam itu justru menimbulkan gelombang tuduhan baru, dan dalam pernyataannya ia mengaku menyesal telah memberi celah bagi mereka yang mengisi kekosongan itu dengan kebencian.

Yorke dengan tajam menyebut Netanyahu dan kelompok ekstremisnya ‘lepas kendali dan harus dihentikan.’ Tapi ia juga menyampaikan kritik tajam terhadap Hamas. Ia menolak simplifikasi dan ekstremisme dari kedua sisi, serta menyerukan agar dunia kembali pada rasa kemanusiaan, bukan pertikaian digital penuh tuding.

Yorke tahu, ia bukan politisi. Ia bukan diplomat. Tapi menyerukan tekanan global untuk menghentikan pemerintahan Netanyahu adalah hal yang paling masuk akal saat ini. Bukan karena ia pro satu pihak, tapi karena ia anti pada kekuasaan yang membabi buta. Ia juga mengajak kita untuk berhenti sejenak, merenungi cara kita berbicara soal kematian dan penderitaan, bukan lewat tren, tapi lewat kesadaran.

Baca Juga  SID Balik Lagi ke Dapur Rekaman! Album Baru Setelah Lama 'Bertapa'?

Di dunia yang menjual moralitas dalam bentuk caption dan carousel, mungkin Yorke justru memberi napas segar: bahwa keberpihakan tidak selalu hadir dalam bentuk hitam-putih. Kadang, ia muncul dalam bentuk diam yang jujur. Atau suara yang datang terlambat tapi tulus.

Apakah pernyataan ini cukup? Bagi sebagian orang, mungkin belum. Tapi setidaknya, Yorke akhirnya bicara. Dan kita, semoga, mau mendengarkan lebih dalam, tak sekadar bereaksi.

Ini bukan tentang Yorke. Ini tentang kita. Tentang bagaimana kita membaca tragedi, bersuara, dan membentuk dunia yang lebih waras, di luar layar gawai. Karena Gaza bukan panggung konser. Dan penderitaan bukan bahan konten.

Baca Juga

Dua Penulis Bali, Tan Lioe Ie dan Pranita Dewi, Masuk Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Preman Laut

Menafsirkan Bib Bob

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi