Denpasastra.net
Resensi

Resensi Album Kedua Hindia (2023)

Lagipula Hidup Akan Berakhir: Merayakan Kekalahan, Lalu Apa?

Suatu hari di pertengahan tahun 2023 yang riuh, Hindia, moniker dari Baskara Putra (.feast, Lomba Sihir), kembali ke hadapan publik dengan album keduanya. Dirilis tepat empat tahun setelah Menari Dengan Bayangan (MDB) yang sukses mengumpulkan 1 juta monthly listener di Spotify dalam waktu singkat, kali ini ia membawa tajuk yang lebih lugas: Lagipula Hidup Akan Berakhir (LHAB).

Namun, album ini bukan sekadar kelanjutan dari warisan musikal MDB yang problematik. Lebih dari itu, LHAB membawa beban eksistensial yang lebih berat. Jika MDB adalah buku harian seorang pemuda yang terlalu banyak berpikir saat jam makan siang, maka LHAB adalah pengumuman bahwa tak ada lagi yang tersisa untuk dipikirkan—selain menerima bahwa dunia memang berjalan ke arah yang tidak jelas.

Dengan total 24 lagu, 4 skit wawancara satir, dan durasi hampir dua jam, album ini lebih mirip seminar filsafat yang menyamar sebagai rilisan musik. Dari Janji Palsu yang menyindir optimisme kosong, Selebrisik yang menertawakan kultus influencer, hingga Wawancara Liar yang menghadirkan impersonasi pejabat dan aktivis, LHAB berusaha menangkap kekacauan dunia modern dalam bentuk yang bisa dinyanyikan.

Secara musikal, LHAB juga lebih eksperimental dibanding MDB. Ada banyak permainan aransemen, perpaduan antara agresi dan kerapuhan, serta penempatan skit yang semakin mengaburkan batas antara seni dan komentar sosial. Album ini terasa seperti pesta perpisahan bagi dunia yang sudah terlalu banyak dijanjikan hal-hal manis yang tak pernah terjadi.

Lebih jauh, LHAB juga memotret generasi yang kehilangan harapan dan percaya bahwa tak ada yang bisa diperbaiki. Alih-alih mencari solusi, album ini justru mengajak kita menerima absurditas ini, berdansa di tengah kehancuran, dan mengangkat gelas untuk dunia yang sudah terlalu rusak untuk diselamatkan.

Baca Juga  Berenang di Kali Mati: Ode untuk Navicula

Rasa-rasanya saya tidak perlu repot-repot mendedah pemikiran eksistensialisme ala Sartre dan nihilisme ala Nietzsche dalam diktat-diktat filsafat yang rumit. Album ini dengan jenius merangkumnya dan menempatkan dua terminologi sulit itu dalam konteks masyarakat Indonesia hari ini.

Menekuri satu demi satu trek di album ini, saya sampai pada satu gagasan: LHAB adalah karya Hindia yang cukup pretensius, terutama mengingat jumlah lagunya yang terasa seperti double album. Sebagai album konsep, ini adalah karya yang layak dicatat, terutama setelah pencapaian artistik Balada Joni dan Susi-nya Melancholic Bitch (sekarang Majelis Lidah Berduri).

Dalam kerangka ini, LHAB jelas bukan sekadar eksplorasi pribadi seperti MDB. Spektrum temanya jauh lebih luas—krisis ekonomi, kejatuhan sosial, ekses teknologi, dan perasaan bahwa tidak ada yang benar-benar bisa kita lakukan untuk mengubah keadaan. Bahkan, ada kesan bahwa album ini hadir bukan untuk menawarkan solusi, melainkan sekadar menjadi soundtrack bagi mereka yang sudah lelah mencoba.

Tentu, ini adalah sikap yang masuk akal di tengah kemarahan terhadap sistem yang tak berpihak pada banyak orang. Tapi, benarkah ini yang kita butuhkan?

Di balik semua kompleksitas dan kejeniusan LHAB, ada sesuatu yang mengganggu saya—sebuah gagasan besar yang mengintai di balik lapisan-lapisan lagu Hindia kali ini: nilai-nilai nihilisme dan eksistensialisme yang seolah menjadi satu-satunya jalan keluar bagi bonus demografi Indonesia.

Saya percaya bahwa sikap nihilisme-eksistensialisme—di mana keyakinan bahwa hidup ini tidak punya makna, sehingga terserah kita mau menciptakan makna sendiri atau tidak—adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberi kebebasan penuh untuk memaknai hidup tanpa harus tunduk pada narasi besar yang diwariskan generasi sebelumnya. Namun di sisi lain, ia juga bisa membuat kita jatuh ke dalam lumpur keputusasaan dan stagnasi.

Baca Juga  Nusa Fantasma: Hantu Banda dan Nyanyian dari Laut

Sebab jika benar hidup ini tak ada artinya, kenapa kita repot-repot menyanyikan lagu tentang itu? Jika segalanya tak bisa diubah, kenapa kita masih merasa perlu mengkritiknya? LHAB, dengan segala pesimisme dan kritik sosialnya, pada akhirnya justru memperbesar amplifikasi potret generasi Indonesia yang kehilangan harapan dan melanggengkan kepercayaan bahwa tak ada yang bisa diperbaiki di negara ini.

Dus, album ini memang memiliki banyak hal cerdas untuk dikatakan, tetapi ia juga tersandung dalam paradoksnya sendiri. LHAB membongkar kepalsuan optimisme ala motivator, tetapi pada akhirnya hanya menawarkan kebalikannya: bahwa tidak ada yang bisa dilakukan, jadi biarkan saja semuanya hancur. Jika MDB masih menyisakan sedikit harapan, LHAB memilih untuk menguburnya dalam-dalam dan menari di atas kuburannya.

Namun, seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, nihilisme ini tidak membawa kita ke mana-mana. Jika kita benar-benar percaya bahwa dunia ini rusak dan tak ada yang bisa diperbaiki, maka kita justru telah memberikan kemenangan kepada sistem yang kita kritik. Justru dengan terus mencoba—meski tanpa jaminan sukses—kita bisa menemukan sesuatu yang lebih berarti daripada sekadar merayakan kekalahan.

LHAB adalah album yang kuat, penuh gagasan, dan sarat komentar sosial yang tajam. Namun, ia juga seperti seseorang yang lelah berdebat dan akhirnya memilih mengangkat bahu, menyerah pada absurditas, dan berkata, “Iya lagi” atau “Yaudah sih.”

Ini adalah album yang cocok bagi mereka yang ingin merasa dimengerti dalam kelelahan dengan puk-puk yang melenakan, tetapi puk-puk itu juga bisa menjadi jebakan bagi mereka yang akhirnya memilih untuk diam dan membiarkan dunia terbakar.

Sebab karena kalau memang hidup akan berakhir, bukankah lebih baik kita tetap berbuat sesuatu sebelum semuanya benar-benar selesai?

Baca Juga  Hari-Hari Terakhir Peterpan

Baca Juga

Berenang di Kali Mati: Ode untuk Navicula

Preman Laut

Mimesis dan Hiperrealitas ‘Painting of Life’, Sebuah World View

Preman Laut

Merayakan 25 Tahun Album OK Computer – Radiohead

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi