Denpasastra.net
Resensi

Hari-Hari Terakhir Peterpan

Mengikuti jejak karya sebuah grup band dari awal kemunculan hingga akhir lika liku perjalanan karirnya selalu menimbulkan kesan tersendiri bagi saya. Dengan menyimak peralihan album demi album yang dihasilkannya semasa berkarya, saya selalu merasa dituntun saat memahami sang musisi lebih baik dan lengkap lagi.

Sebab tak jarang, kualitas sebuah rilisan album dapat mencerminkan kondisi realita dan psikologis yang tengah dilalui band itu sendiri pada masa tertentu. Yang pada gilirannya bakal menentukan arah musikalitas dan kelangsungan band itu sendiri di masa depan; apakah masa-masa sulit di awal karir berbuah manis lewat pembuktian karya demi karya, ataukah mereka yang cukup hanya berpuas-diri bakal terpuruk jadi one hit wonder untuk segera dilupakan orang.

Hal inilah yang terungkap dalam buku Kisah Lainnya; Catatan 2010 – 2012 (KPG dan Musica Studio, 2012) tentang perjalanan berkarya Peterpan (kini Noah Band). Ditulis keroyokan oleh Ariel, Uki, Lukman, Reza dan David, buku ini tak hanya mampu menyajikan kisah menarik pembentukan awal dan bongkar pasang formasi dari band yang paling banyak disorot publik 10 tahun belakangan, tapi juga menyingkap proses kreatif masing-masing personilnya ketika dihadapkan dengan cita-cita, antusiasme, konflik pribadi hingga urusan tetek bengek promosi pasar dan kompromi label rekaman yang menaunginya.

Simak petikan berikut, momen di mana Ariel mulai memberanikan diri memperkenalkan lagu karangannya kepada band saat awal terbentuk:

Saya ingat betul, waktu itu kami sedang berkumpul di basecamp. Saya menyanyikan  lagu ‘Ada Apa Denganmu’  dengan keras, mencoba menarik perhatian.

Tidak ada yang menanggapi.

(Hal.51)

Bandingkan juga dengan memoarnya semasa penggarapan album keempat Peterpan tentang posisinya sebagai penyumbang lagu terbanyak dalam band:

‘Sally Sendiri’ dan ‘Di Balik Awan’, misalnya, kedua lagu ini saya perdengarkan kepada kawan-kawan saat Peterpan menggarap album Alexandria.

Ketika mereka menanyakan alasan tidak dimasukkannya kedua lagu itu ke dalam album Alexandria, saya menjawab ringan, “Itu buat simpanan. Barangkali mau solo.”

(Hal.119)

Sentilan Ariel di atas memang tidak berlanjut. Alexandria sebagai album ketiga yang juga jadi lagu tema film berjudul sama, akhirnya rilis dengan kondisi dikejar deadline, hanya berisi 5 lagu baru dan separuhnya lagi hasil remix lagu dari album pertama dan kedua.

Rencana bersolo karir yang dilontarkan Ariel tadi hanya kelakar untuk merangsang produktivitas tiap personil, karena ia menganggap kreativitas dirinya pun memiliki batas. Jika suatu saat ia mandeg dan tak punya ide baru, idealnya personil lain bisa mengisi. Hal yang kelak terbukti lewat album Suara Lainnya (2012) digarap secara instrumental, kolaborasi dengan musisi lain dan menjalani konser tanpa frontman –berhubung Ariel saat itu tengah menanggung vonis pengadilan terkait kasus video mesum dan mesti cukup puas hanya terlibat dari balik penjara.

Memoar Apologia
Sejatinya, buku Kisah Lainnya adalah rekonstruksi runut berbagai kejadian yang dilewati Ariel sesaat setelah video mesumnya muncul, jadi bahan gunjingan di ranah publik, lalu ditahan kepolisian dan menghabiskan genap 750 hari dalam bui.

Ditulis dengan diksi dan alur yang sangat baik, buku berisi 7 bab ini menempatkan Ariel sebagai pengarang sekaligus narator tokoh utama yang dominan. Selain dokumentasi foto beberapa peristiwa di rutan, buku ini juga memuat sejumlah karya drawing (sketsa) dan petikan puisi yang dibuat Ariel dari dalam penjara. Strategi ini sukses membawa saya turut merasakan getir dan asingnya nuansa penjara yang dihadirkan.

Interaksi Ariel dengan sesama pesakitan lain di Rumah Tahanan Bareskrim Mabes Polri Jakarta dan Rutan Kebon Waru Bandung jadi latar belakang pengkisahan paling kuat pada bab pembuka dan menjelang bab terakhir. Beberapa penghuni rutan dihadirkan sebagai tokoh-tokoh anonim dengan sebutan pak RT (kasus pembunuhan direktur utama perusahaan ternama), Ompung Pertama (mantan pejabat Orba, menunggu keputusan kasasi), Ompung Tua (pengusaha sawit terbesar di Indonesia), pak Ustad (sebutan penghuni rutan untuk Abu Bakar Ba’asyir, diduga jadi dalang berbagai kasus terorisme) dan sejumlah nama lainnya termasuk bu Acin alias Indrawati Widjaja Direktur Musica Studio yang hadir di banyak adegan buku ini.

Baca Juga  Re-Visiting The Brandals Album Pertama

Belum lagi peristiwa take vocal lagu ‘Dara’ di studio mini (baca: kotak kayu persegi panjang di salah sudut ruangan Bimker) Kebon Waru dengan bantuan salah satu tahanan yang mahir software recording, berhasil terdokumentaskan dengan baik. Menjadikan bagian pengalaman ini begitu kaya akan topik bahasan.

Intensitas saya membaca baru agak kedodoran memasuki bab-bab pertengahan buku ini yang sebagian besarnya adalah flashback berbagai momen penting Peterpan di masa lalu. Tanpa mengurangi peran personil lain yang ikut menyumbang tulisan di buku ini, catatan Uki, Lukman, Reza dan David yang muncul satu-persatu pada beberapa bagian bab justru terasa datar dan membosankan. Kisah keempat personil lain yang masing-masing ditulis terpisah dengan intonasi penulisan mirip-mirip, bukan hanya jadi pelengkap argumentasi, tapi juga sekedar mengulang paparan yang telah terbangun sejak awal di bawah bayang-bayang narasi Ariel.

Hampir seluruh personil lain mengeluhkan betapa sulitnya kondisi mereka saat itu di hadapan publik yang tengah getol-getolnya menggunjing kasus video mesum dan menghujat Ariel. Mereka juga cukup kompak memosisikan diri sebagai korban tak bersalah dimana publik tanpa tedeng aling-aling adalah tokoh antagonisnya.

Ariel sendiri mencatat:

“Pengacara? Mengapa saya membutuhkan pengacara?” Pertanyaan itu muncul karena sejauh ini  gambaran yang ada di kepala saya  adalah menunggu polisi  menangkap  orang yang telah  dengan sengaja mengunggah data itu ke dunia maya. (Hal. 4)

Perihal bagaimana ‘data itu’ tersebut bocor dari manajemen internal band, mencuatnya kasus tersebut ke ranah publik, temuan resmi pihak kepolisian soal 32 video mesum lain yang diduga juga dibintangi Ariel, hingga siapa sebenarnya pihak yang paling bertanggung jawab dari kasus ini seperti alpa disebut.

Tak pelak, banyak rangkaian logika yang hilang di buku ini. Titik berat yang lebih menekankan pada bagaimana band bisa bertahan di masa-masa krisis dan mencoba bangkit, menjadikan buku –yang harusnya bisa jadi salah satu sumbangan dokumentasi penting dunia musik Indonesia– ini jadi sekedar ajakan bagi pembaca untuk melongok ‘dapur’ Peterpan secara karikatural. Wajar bila sejak awal, pembaca memang diarahkan bukan untuk menguak kebenaran atau kejelasan dari peristiwa yang sebetulnya jadi pemantik utama buku ini ditulis.

Ini sangat disayangkan, mengingat saya juga tidak menemukan penjelasan memadai di buku ini –baik dari catatan Ariel maupun catatan personil lain– mengenai kasus yang paling banyak menyita perhatian industri musik dan dunia hiburan dua tahun ke belakang. Lebih jauh lagi, buku ini jelas gagal mengurai keblingernya domain hukum ketika berhadapan dengan euforia selebritas terutama dari sudut pandang Ariel dan Peterpan sendiri –hal yang sebetulnya esensial untuk menguji seberapa rapuhnya undang-undang pornografi yang berlaku di negara ini dan bagaimana domain kebudayaan populer diperhitungkan di sini.

Adakah rilisnya buku setebal 228 halaman ini sekedar memoar apologia yang mengajak pembacanya amnesia bersama-sama agar jatuh simpati lalu mengamini pesan sponsor bahwa Peterpan baik-baik saja, hendak ganti nama band, akan terus eksis dan kita semua bisa terus membeli album originalnya? Lantas bagaimana kita bisa menilai musikalitas Ariel, Uki, Lukman, Reza dan David hari ini –berhubung buku Kisah Lainnya jadi bundel promosi dengan album (yang katanya) instrumental Suara Lainnya yang melibatkan sejumlah musisi penting seperti Idris Sardi dan Karinding Attack?

Melongok rentang karir dan hari-hari terakhir Peterpan secara karikatural dalam buku Kisah Lainnya, saya terkenang seorang kawan sepermainan sejak kecil di Jakarta pada akhir tahun 2002 ketika single promo Album Kompilasi Kisah 2002 Malam rilisan Musica Studio’s tengah gencar-gencarnya diputar di radio.

Kawan saya, yang saat itu tengah putus kuliah, sesumbar menyebut band pemilik lagu ‘Mimpi Yang Sempurna’ –track pertama di album kompilasi ini– akan jadi salah satu ‘band penting’ suatu hari nanti. Saya hanya tertawa mendengarnya.

Setahun berselang selepas pulang dari kampus, kawan saya datang lagi sambil memperdengarkan lagu yang sama –kini direkam dalam album penuh debutan Peterpan, Taman Langit (2003)– yang diracik ulang secara akustik. Dia bahkan membawakan reffrainnya dengan sepotong gitar kopong tua di kamar saya dan vokal yang dimirip-miripkan.

Baca Juga  Review Buku Kumcer 'Manusia Manusia': Kisah yang Menjalar dari Ingatan ke Imajinasi

Kali ini saya tertawa lebih keras. Bukan maksud menghina, tapi saya lega menyadari lagu favorit kawan saya ini menyimpan semangat masa puber yang sama dengan yang kami alami tahun-tahun tersebut; antusiasme dan mimpi-mimpi yang sedang saya gantungkan pada dunia akademis, juga sisa harapan dan cita-cita kawan saya yang telah resmi menganggur. Bulan madu zaman reformasi yang masih jadi euroria saat itu, membuat banyak pemuda seperti kami di luar sana yang juga memimpikan kehidupan lebih baik dari kondisi sebelumnya.

Lewat debut album tersebutlah, pasar mainstream kembali diperkenalkan pada tema-tema persahabatan, kegigihan cita-cita dan sederhananya impian masa depan, serta bersahajanya hubungan sesama manusia. Pendengar Peterpan mana saat itu yang bisa menolak semangat optimisme dalam bait pembuka ‘Aku & Bintang’, segarnya struktur melodi ‘Taman Langit’, dan nilai-nilai kedewasaan dalam ‘Semua Tentang Kita’. Seiring pemainan Uki dan Lukman yang kian mengisi kekhasan part-part gitar dan menjadi nyawa utama Peterpan, kemampuan Ariel menghasilkan lirik dan menyampaikannya lewat pilihan nada telah semakin matang dan beres secara konseptual di album kedua, Bintang di Surga (2004).

Simak saja petikan lirik ‘2DSD‘ yang jadi track ke enam di album ini:

Kumenatap langit yang tenang
Dan tak kan menangisi malam

Tuk tetap berdiri ku melawan hari
Ku akan berarti ku takkan mati  

Dinyanyikan lantang sebagai intro, ada sugesti kuat yang ditularkan lewat lirik sederhana dan dinyanyikan berulang-ulang sepanjang lagu. Simbolisasi seperti ini boleh dibilang sudah jarang digarap sejak Slank, Dewa 19 dan Netral banting setir jadi penghasil lagu-lagu rock melayu galau di permulaan tahun 2000-an.

Jenakanya aransemen ‘Di Atas Normal’, larutnya ambience ‘Bintang di Surga’ dan puja-puji ‘Khayalan Tingkat Tinggi’ melengkapi pencapaian terbaik Peterpan sebagai band anak bawang dari pojokan Antapani, Bandung lantas menjelma jadi nama besar paling diperhitungkan di berbagai penghargaan. Semua pencapaian ini membuat frontman band mainstream manapun saat itu merasa perlu mengekor cengkok pita suara Ariel dalam bernyanyi dan menulis lirik.

Pasca Bintang di Surga, saya mulai kehilangan kontak dengan sahabat karib tadi selama bertahun-tahun. Kabar terakhir saya dengar, keluarganya pindah ke Kalimantan mencari penghidupan baru yang lebih layak. Lingkungan saya juga berubah seiring frekuensi mendengarkan Peterpan mulai berkurang. Bukan hanya karena jenuh dicekoki gosip terkini seputar band sejuta umat yang makin overrated di media dan kabar retaknya Peterpan samar-samar terdengar, tapi karena menurut hemat saya ada penurunan kualitas yang teratur dari rilisan album sesudahnya.

Album Alexandria (2005) misalnya, selain filmnya juga terlalu cetek untuk penulis sekaliber Salman Aristo, album ini memuat banyak nada-nada mubazir (Membebaniku), part gitar panjang minus improve (Menunggu Pagi), lirik yang pointless (Langit Tak Mendengar) dan penggarapan sound yang terlalu seragam antara lagu satu dan lainnya.

Rangkaian track ‘bola-bola gula kapas’ (meminjam istilah Nuran Wibisono) di album keempat yang rilis pada 2007 secara keseluruhan bahkan tidak membawa saya pada refleksi gagasan apapun dari premis ‘hari yang cerah untuk jiwa yang sepi’ sebagai judul album ini sendiri. Sedangkan Sebuah Nama Sebuah Cerita (2008) –alih-alih jadi album the best– memantapkan kecurigaan saya bahwa band yang sudah terlalu sering menggunakan kata ‘mimpi’, ‘menunggu’, dan ‘sendiri’ ini jadi kian tak produktif dan terancam ‘kelestariannya’ lengkap dengan rentang masa vakum band yang cukup lama.

Dalam buku Kisah Lainnya (hal. 103-104) Ariel memang mengakui adanya strategi pemerataan materi jagoan tiap-tiap album yang sudah dirancang jauh hari sebelum dirilis. Bahwa ia tidak serta merta memasukkan semua lagu yang berpotensi hit ke dalam satu album, membuat kerja kreatif Peterpan di masa ini jelas lahir bukan karena proses bermusik yang natural sesuai zamannya, tapi lebih pada pertimbangan rasional bakal meledak atau tidaknya sebuah rilisan dalam hitung-hitungan kuantitatif. Mau tak mau, tiga album terakhir Peterpan itu hanya bisa saya hargai dengan kepiawaian mereka yang makin mahir menciptakan hook-hook singkat dan pilihan nada yang easy listening. Tidak lebih.

Baca Juga  Mimesis dan Hiperrealitas 'Painting of Life', Sebuah World View

Gimmick Lainnya

Nosa Normanda pada salah satu esainya di situs ini pernah mendedah bagaimana ‘Ariel Peterpan’ adalah contoh aktual The Ultimate Barbie Doll dalam kebudayaan populer Indonesia mutakhir. “Banyak fansnya tidak terlalu memperhatikan arti lirik-lirik yang ia ciptakan karena ia telah menjadi mitos,” tulis Nosa. Sampai-sampai jurnalis musik sekaliber Adib Hidayat lebih merasa perlu mereportasekan kedekatan personalnya dengan Ariel daripada mengambil jarak dan menimbang suatu karya dengan profesional.

Media massa sebagai alat penyebar mitos tentu jadi partner kunci yang selalu dituntut publik untuk menyajikan rangkaian kabar bombastis tentang band, mulai dari siapa selebritas yang berkencan dengan Ariel, kabar seputar kawin cerainya personil, penggantian nama band, hingga logo baru yang dibuat oleh salah satu aktor paling disegani di skena musik underground.

Tak heran bila media yang dulu ramai-ramai mempraktikkan premature judgement pada pemberitaan skandal video mesum, kini berbalik memuji kembalinya band adalah sebuah keajaiban yang bakal memukul mundur trend boyband untuk mengubah peta musik Indonesia ke depan.

Prediksi ambisius ini tentu sangat prematur, mengingat pencapaian terbaik musikalitas Peterpan sudah berhenti sejak album kedua. Bahkan ketika album Suara Lainnya (2012) digadang-gadang media sebagai album idealis-nya Ariel Cs, kehadiran Momo Geisha yang karirnya sedang naik daun dalam ‘Cobalah Mengerti’ dan lagu ‘Dara’ gubahan Ariel dari balik penjara tak hanya menjadikan album ini tidak konsisten sebagai sebuah album instrumentalia, tapi juga terjebak dalam tuntutan publik akan bombastisme media tadi.

Patut diakui bahwa ‘Taman Langit’ yang dimainkan David, Idris Sardi dan Henry Lamiri dan elemen tradisional Kariding Attack dalam ‘Sahabat’ adalah dua nomor paling mengesankan dari kolaborasi musisi lintas zaman dan genre di album ini. Selebihnya, saya harus cukup puas disuguhi nomor seperti ‘Walau Habis Terang’ dan ‘Langit Tak Mendengar’ sebagai intepretasi gagal David dan Uki yang mencerabut emosi lagu asli dan menempelkan elemen jazz seenaknya, untuk sekedar jadi musik lift yang dimainkan dari lounge hotel bintang tiga tempat opa-opa menggelar rapat-rapat panjang nan membosankan.

Toh publik tetap antusias. Album ini dibicarakan dimana-mana terutama karena Konser Tanpa Nama digelar dengan menghadirkan mic, gitar dan handuk Ariel di atas panggung tanpa kehadirannya sepanjang konser, menyisakan efek dramatis dan menimbulkan simpati banyak orang.

Bisa intepretasikan, bahwa di sinilah posisi label sebagai pihak yang paling berkepentingan turut memainkan peranannya mengemas gimmick demi gimmick band ini dengan rapih sejak awal, sebut saja pemecahan Rekor MURI atas kehebatan Peterpan karena manggung di banyak tempat dalam waktu 1 hari saja pada 2004 silam –gimmick yang lantas didaur ulang sebagai strategi promo launching album perdana Noah lewat konser di 5 kota beda negara di 2 benua dalam waktu 24 jam penuh 16 September mendatang.

Terang bahwa dengan dirilisnya single ‘Dara’ milik Ariel dari dalam penjara, serta nomor ‘Separuh Aku’ selang beberapa hari setelah Ariel bebas dari tahanan, adalah gimmick lainnya untuk menjaga band yang haus perhatian ini agar selalu jadi pembicaraan orang. Soal benarkah dua nomor gimmick tersebut mencerminkan musikalitas Ariel Cs yang semakin banal dalam format baru Noah, saya belum berani memprediksi lebih jauh dari ini. Yang jelas, rilisnya album ‘debut’ Noah kini sudah tinggal menghitung hari.

Dengan gimmick tanpa henti dan spotlight sana-sini, saya sendiri tidak berharap banyak kehadiran Noah akan kontekstual seperti yang pernah mereka lakukan 10 tahun silam lewat Peterpan. Kalaupun musikalitas Noah kini bakal terpuruk jadi album renyah rendah gizi yang dijual berjejer bersama ayam goreng dan soda di restoran junkfood kesayangan keluarga, tidak apa. Setidaknya saya bersyukur sudah pernah punya pengalaman penuh warna bersama karya-karya lawas mereka.

Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi