Denpasastra.net
Opini

Membongkar Mitos ‘Selera Musik Berhenti di Usia 30 Tahun’

Gagasan bahwa selera musik berhenti di usia sekitar 30 tahun belakangan terdengar seperti kebenaran umum. Ia beredar ringan di media pop, dibagikan seperti nasihat hidup, lalu diterima tanpa banyak tanya.

Salah satu uraian cukup rapi dari gagasan tersebut muncul dalam artikel di situs Pop Hari Ini (PHI) ditulis oleh Aris Setyawan. Di artikel itu, usia 30 dipatok semacam garis finis, titik di mana seakan-akan selera bisa berhenti bergerak dan kita hanya hidup dari ingatan nostalgia.

Dus, cara membingkai persoalan seperti ini menurut hemat saya adalah misleading besar karena kesimpulannya ditarik terlalu cepat. Pasalnya, ketika perubahan kebiasaan mendengarkan musik disamakan dengan berhentinya selera, ia sedang menggeneralisir dua hal yang sebetulnya berbeda.

Dan jika ditarik sedikit ke belakang, persoalannya jauh lebih dalam: bukan selera yang berhenti, melainkan cara selera subjektif manusia dibentuk yang prosesnya tengah melambat.

Sederhananya begini. Kita semua mahfum bahwa di masa remaja hingga usia 20-an, musik datang bak hujan. Kita tidak mencarinya, musik-musik itulah menemukan kita. Ia hadir di tongkrongan, di kamar sempit, di radio yang kita dengarkan sepanjang perjalanan, dan konser dan festival anak muda, dan di banyak perbincangan kelompok masyarakat yang belum punya banyak beban.

Musik dalam tahap usia tersebut bekerja sebagai alat pembentuk diri. Ia membantu kita mengenali siapa kita, ingin jadi apa, dan ingin berada di sisi mana. Pada fase ini, kebaruan terasa mendebarkan. Menemukan band baru sama artinya dengan menemukan kemungkinan hidup lain.

Bagi saya pribadi, melewati usia 20-an, ritme itu berubah. Hidup mulai mengeras. Jadwal menjadi padat. Energi dialihkan ke hal-hal yang lebih mendesak. Musik pun bergeser fungsi. Ia tidak lagi dipakai untuk mencari diri, melainkan untuk menenangkan diri. Lagu-lagu lama menjadi jangkar karena mereka efisien: sekali diputar, emosi langsung tiba di tempat tujuan. Nostalgia bukan sekadar rindu, ia adalah jalan pintas.

Baca Juga  Positivisme Palsu 'Carry On' ala Soul and Kith

Perubahan fungsi inilah yang oleh PHI dibaca sebagai selera yang mentok. Di sinilah letak kekeliruannya.

Dalam rangka ini saya ingin mengusulkan bahwa yang menurun di sini bukanlah selera, melainkan laju kita mengadopsi musik-musik baru. Meski kurvanya memang melambat, tapi tidak pernah berhenti. Saya percaya bahwa selalu ada orang-orang yang tetap mendengar dengan rasa ingin tahu, bahkan di usia yang jauh dari angka 30. Bukan karena otaknya berbeda atau , melainkan karena hidupnya memberi ruang, atau karena ia sengaja mempertahankan ruang itu.

Jika asumsi bahwa selera musik benar-benar berhenti di usia tertentu memang betul, maka ada banyak hal di sekitar kita yang seharusnya tidak terjadi. Lagu-lagu dari era 70-an, 80-an, dan 90-an tidak semestinya kembali hidup di telinga Gen Z.

Tapi toh kenyataannya justru berkata sebaliknya. Lagu-lagu lama berulang kali viral, dipakai ulang di TikTok, diremix, dipotong, ditafsir ulang, lalu menjadi milik generasi yang bahkan belum lahir saat lagu itu pertama kali dirilis. Dan jika selera benar-benar mentok di usia 30, maka lintas-generasi semacam ini mustahil. Yang terjadi justru paradoks: musik bergerak bebas melintasi umur, sementara narasi selera justru sedang dipasung oleh angka.

Paradoks yang sama bisa dilihat dari arah sebaliknya. Banyak generasi yang disebut “sudah matang” justru tidak punya masalah menikmati lagu-lagu baru. Tidak sedikit boomer atau milenial yang santai saja mendengarkan lagu-lagu pop mutakhir, dari yang viral sampai yang dianggap remeh. Fenomena lagu seperti “Garam dan Madu” bisa dinikmati lintas usia tanpa perlu merasa sedang “menurunkan standar selera”. Ini menunjukkan satu hal sederhana: musik tidak pernah meminta kartu identitas umur dari pendengarnya. Yang sering meminta itu justru narasi di sekitarnya.

Ada pula jarak yang jarang dibicarakan. Setelah usia tertentu, musik pop terasa tidak lagi berbicara kepada kita. Bukan karena musiknya memburuk, tetapi karena ia memang ditujukan pada mereka yang sedang membangun identitas, bukan yang sudah selesai merakitnya. Jarak ini sering diterjemahkan secara malas sebagai “musik sekarang jelek”, padahal yang berubah adalah posisi kita sebagai pendengar.

Baca Juga  Taufiq Ismail dan Oksimoron Lifetime Achievement UWRF 2025

Masalahnya menjadi lebih serius ketika mitos ini diterima tanpa curiga. Mempercayai bahwa selera musik berhenti di usia tertentu sama dengan menerima bahwa kita boleh diperdaya oleh sistem industri musik yang kapitalistik. Kita berhenti bertanya mengapa rekomendasi terasa sempit, mengapa kejutan makin jarang, mengapa yang diputar selalu itu-itu saja. Kita menerima pengulangan sebagai kodrat, padahal sering kali ia adalah hasil desain.

Industri musik tidak hidup dari kejutan, melainkan dari kebiasaan. Musik yang familiar lebih aman, lebih mudah dijual, dan lebih mudah diputar ulang. Algoritma mendorong pengulangan, lalu pengulangan itu dijelaskan kembali kepada kita sebagai sifat alami manusia. Dalam skema ini, narasi tentang selera yang berhenti ala artikel PHI bukan sekadar kesalahan baca, melainkan pembenaran yang nyaman.

Buat saya pribadi, yang lebih terang dari perkara ini sebenarnya sederhana. Selera musik tidak pernah berhenti. Yang berhenti adalah fase pembentukan identitas melalui musik. Setelah itu, musik berubah dari medan eksperimen menjadi arsip hidup. Ia tidak lagi datang sendiri. Ia harus dicari. Dan pencarian itu tidak pernah disediakan secara gratis oleh sistem.

Menolak mitos usia 30 bukan berarti memaksa diri menyukai semua musik baru. Itu hanya bentuk konsumsi lain. Yang ditolak adalah gagasan bahwa rasa ingin tahu harus pensiun, bahwa mendengarkan cukup dilakukan sambil menoleh ke belakang. Musik terus bergerak, berpindah tangan, berpindah makna, berpindah generasi.

Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita mau bergerak bersamanya, atau puas menerima cerita bahwa berhenti adalah tanda kedewasaan.

Tanggapi Tulisan Ini

Yay
Meh
Terima kasih. Responmu menjadi bagian dari arsip bacaan ini.

Klab Baca Kerumitan Sastra

Dapatkan kolom mingguan Kerumitan Sastra langsung ke inbox kamu setiap Minggu pagi. Gratis, tanpa spam.

Baca Kebijakan Privasi untuk info perlindungan data lebih lanjut

Baca Juga

Siapa Aku, Kamu, dan Kita di Album Rimpang: Membongkar Pronomina versi ERK

Preman Laut

Dari Banjir Bali ke Tragedi Sumatra: Solidaritas yang Menyebrangi Laut

Preman Laut

Ubud Jadi Tuan Rumah Ubud Village Jazz Festival 2025, 1–2 Agustus di Sthala

Preman Laut

Merayakan Rindu 50 Tahun Kemudian: Revisiting Wish You Were Here – Pink Floyd (1975 – 2025)

Preman Laut

Bogie Prasetyo: Jazz Itu Minoritas, Tapi Kami Setia

Preman Laut

Siap-Siap! Komunal Bakal Tampil di Bali Jumat Pekan Ini

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi