Dua hari setelah rilis sekuel film dokumenter Dirty Vote yang menyoroti dugaan kecurangan pemilu rezim Prabowo–Gibran, lini masa media sosial diramaikan oleh unggahan Tatkala.co. Mengutip riset lembaga Center of Economic and Law Studies (CELIOS), media kebudayaan berbasis di Singaraja, Bali itu membagikan daftar ’10 Pejabat dengan Kinerja Terburuk dan Harus Di-reshuffle’.
Yang menarik, dalam laporan resmi CELIOS berjudul Evaluasi Kinerja 1 Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran (Oktober 2025), Menteri Kebudayaan Fadli Zon menempati posisi kelima dengan skor –36 poin, hasil akumulasi penilaian panel jurnalis nasional terhadap enam indikator utama: pencapaian program, relevansi kebijakan, kepemimpinan, tata kelola anggaran, komunikasi kebijakan, dan penegakan hukum.
Secara akumulatif, CELIOS mencatat bahwa 77 persen responden menilai kinerja kabinet Prabowo–Gibran ‘buruk hingga sangat buruk, dan hanya lima persen yang menilai baik. Jika hasil ini dijadikan cermin, maka rapor merah Fadli Zon bukan sekadar potret persepsi publik, melainkan refleksi dari krisis kebijakan budaya itu sendiri.
Lantas apa yang sebetulnya sedang terjadi? Sebab pada waktu yang bersamaan, Denpasastra melihat dengan mata kepala sendiri di lapangan dan tingkatan akar rumput di banyak daerah justru kehadiran festival, lomba, dan program kebudayaan sebagian besar ditenagai oleh dana hibah pemerintah kian marak. Pemberitaan media tentang Kementerian Kebudayaan dan dinas daerah terkait juga diramaikan dengan berbagai dokumentasi acara yang digadang-gadang sebagai ‘kebangkitan budaya nasional’.
Di Bali bahkan, citra itu tampak nyata. Dalam satu tahun terakhir, Fadli Zon atau wakilnya rutin hadir di berbagai panggung seni yang kembali bergeliat pascapandemi, termasuk membuka Pesta Kesenian Bali usianya yang tahun ini jatuh ke-47 pada Juni lalu. Sepanjang 2024 juga ia menghadiri lebih dari dua puluh festival, dari Pekan Kebudayaan Nasional hingga Konferensi Musik Indonesia sampai menghidupkan kembali Kusala Sastra Award yang sempat hiatus lama.
Sepintas deretan aktivitas ini memperkuat kesan bahwa kebudayaan tengah dikelola dengan baik oleh ahlinya. Kalaupun rapor setahun pemerintahan menunjukkan hal lain, adakah skor rendah yang dianugerahkan pada Fadli Zon bukan sekadar soal persepsi publik, melainkan cermin dari kebijakan yang kabur arah dan minim hasil? Benarkah kebangkitan budaya nasional di bawah rezim yang diduga lahir dari dirty vote ini justru sedang bergerak ke arah sebaliknya?
Untuk menjawabnya, Denpasastra menggunakan studi pustaka dari sumber utama untuk menelusuri lebih dalam sejumlah laporan dan dokumen resmi yang berkaitan dengan kinerja kementerian kebudayaan sepanjang 2024.
Dana Indonesiana dan Politik Anggaran
Hasil kompilasi Denpasastra atas laporan CELIOS dan dokumen keuangan resmi menunjukkan kesesuaian menarik antara persepsi publik dan data fiskal. Dalam Laporan Keuangan Kemendikbudristek Tahun 2024 (Audited), unit Direktorat Jenderal Kebudayaan tercatat memiliki pagu sebesar Rp 3,19 triliun, dengan realisasi Rp 2,79 triliun atau hanya 87,48 persen serapan. Artinya, sekitar Rp 400 miliar dana kebudayaan tidak terserap sepanjang tahun anggaran.
Angka ini penting, karena tingkat penyerapan di bawah 90 persen menurut Kementerian Keuangan menandakan keterlambatan atau kegagalan pelaksanaan program. Namun di balik statistik, tampak ketegangan epistemik: antara logika fiskal yang menuntut output terukur dan logika kebudayaan yang bekerja lewat waktu panjang dan relasi sosial yang tak mudah diadministrasikan.
Sebagian besar kegiatan kini bergantung pada Dana Indonesiana, skema pendanaan publik yang dibentuk sejak 2022 untuk mendukung pemajuan kebudayaan pascapandemi. Tujuannya mulia: menyalurkan dana abadi yang stabil dan berkelanjutan bagi komunitas seni di seluruh Indonesia, sesuai amanat UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Tapi dari penelusuran kami di lapangan, mekanisme penyalurannya sering kali menimbulkan masalah. Seleksi dianggap terbuka, tapi kriteria dan evaluasinya tidak konsisten. Banyak komunitas mengeluhkan bahwa pendanaan turun di akhir tahun, ketika waktu pelaksanaan sudah sempit. Akibatnya, banyak kegiatan tak sempat dijalankan.
Pelik memang bahwa untuk mencapai tujuan mulia ini, dalam pelaksanaannya ia justru menunjukkan wajah baru birokrasi: segala sesuatu harus dapat diukur, dilaporkan, dan dibuktikan lewat dokumen.
Bali Sebagai Laboratorium (Anggaran) Kebudayaan
Menurut hemat kami, fenomena ini memperlihatkan pergeseran cara kerja yang lebih banal: kebudayaan kini dikelola dengan logika proyek. Setiap kegiatan menuntut indikator dan laporan. Pendanaan tunduk pada cara berpikir efisiensi yang menganggap kebudayaan hanya sah jika dapat dihitung.
Dalam sistem semacam ini, kebudayaan tidak murni lagi menjadi ruang pengetahuan, melainkan dikecilkan jadi sekedar kompetisi proposal mana yang paling semarak dan siapa yang paling pintar menyusun laporan pertanggung jawaban.
Pola serupa terlihat di banyak daerah termasuk Bali. Laporan keuangan daerah menunjukkan sebagian besar dana kebudayaan masih terserap untuk kegiatan berbasis festival dan lomba. Program non-event seperti digitalisasi naskah, pengarsipan sastra, atau penelitian kebudayaan masih sering tertunda karena keterbatasan waktu dan tenaga pelaksana.
Dalam praktik seperti ini, keberhasilan diukur lewat dokumentasi dan seremoni, bukan keberlanjutan makna. Bali pun kerap menjadi etalase dari semangat ‘kebangkitan budaya’ yang pada kenyataannya didorong oleh tuntutan pelaporan anggaran.
Dus, sementara Jakarta membangun citra nasionalisme kultural, Bali menampilkan vitalitas tradisi lokal. Sayangnya, keduanya beroperasi dengan logika seremonial: kebudayaan dikelola agar tampak hidup, bukan agar tumbuh. Ketika laporan menjadi ukuran keberhasilan, esensi budaya bergeser menjadi dokumentasi yang rapi tetapi kosong makna.
Menurut kami dalam konteks sastra, perhatian negara baru sekedar bersifat simbolik. Festival literasi, lomba penulisan, dan residensi penulis memang bertambah, tapi sifatnya sementara dan berorientasi hadiah. Tidak ada program berkelanjutan untuk penerbitan, kritik, atau dokumentasi sastra kontemporer. Sastra boleh jadi sedang ditempatkan sebagai ornamen dari acara budaya, bukan untuk membuka lebar ruang eksplorasi gagasan.
Fenomena ini mencerminkan paradoks nasional: semakin banyak kegiatan budaya diselenggarakan, semakin dangkal pemaknaannya. Negara tampak aktif menata citra kebudayaan, sementara lapisan pemikiran, kritik, dan imajinasi dibiarkan membusuk di halaman belakang.
Penutup: Sastra di Halaman Belakang
Seluruh studi dari rangkaian data dan laporan di atas memperlihatkan bahwa kebudayaan Indonesia 2024 hidup di antara dua kenyataan: administrasi yang sibuk dan makna yang kosong.
Mungkin Menteri Kebudayaan Fadli Zon memang pantas menerima rapor merah, bukan hanya karena kegagalan menyerap anggaran, tetapi karena membiarkan kebudayaan menjadi instrumen promosi kekuasaan dengan segala problematikanya: pernyataan kontroversional, penghilangan fakta di proyek revisi sejarah, dana kebudayaan yang tak terserap, program menumpuk di akhir tahun, dan sastra kehilangan ruang sehat untuk tumbuh. Ketika anggaran publik tak terserap dan kebijakan hanya menata penampilan, yang tersisa hanyalah dokumentasi sebagai bukti bahwa kegiatan telah terjadi.
Padahal sastra, yang semestinya menjadi ingatan kritis bangsa, dibiarkan bermain-main kecil di halaman belakang. Di sanalah kebudayaan yang sesungguhnya mungkin sedang menulis dirinya kembali, jauh dari sorotan kamera dan laporan pertanggungjawaban.
Sumber Pustaka:
Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
Evaluasi Kinerja 1 Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek)
Laporan Keuangan Tahun 2024
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali (DKPB)
Laporan Realisasi Anggaran Tahun 2024
Disbud Kabupaten Buleleng – Pemerintah Provinsi Bali
Rapat Persiapan Bulan Bahasa Bali VI Tahun 2024
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali
Bali dalam Angka 2024 — bab “Kebudayaan dan Pariwisata.”
Tempo.co
Sejumlah Kebijakan Fadli Zon yang Menuai Polemik (17 Juli 2025)
Detik.com
Setahun Kerja, Fadli Zon Beberkan Kinerja Kementerian Kebudayaan (21 Oktober 2025)
