Kuintet musikal ala monyet mutan ini awalnya ingin saya tulis dengan gaya uu aa uu aa sambil membayangkan seseorang loncat-loncat pendek, garuk-garuk dada, dan memamerkan cengir raksasa. Ada alasannya: musik Morbid Monke memang punya efek samping semacam itu. Mereka muncul di panggung seperti anomali kecil, aneh, eklektik, dan menyenangkan dalam cara yang sulit dijelaskan tanpa ikut bergerak.
Morbid Monke terbentuk pada September tahun lalu di Denpasar. Di usia yang masih seumur jagung, mereka mengguyonkan diri sebagai band ‘quirky, nerdy, awkward‘, persis seperti tertulis di bio Bandcamp mereka. Namun di balik guyonan itu, ada proyek kreatif yang lebih serius: memelintir rock ke arah ganjil yang dirancang sejak awal. Akar punk mereka dibiarkan melebar ke funk, brass, pseudo jazz, post punk, dan berbagai bentuk eksentrisitas lainnya. Bahkan nama mereka saja Morbid Monke menggabungkan istilah bernuansa gelap (morbidus) dengan kelakuan monyet. Maaf, ini bukan umpatan atau celaan. Menurut hemat saya, ini strategi estetik yang cukup solid.
Memasuki tahun 2025, jejak rekaman mereka mulai tampak. Eight Ball, kolaborasi dengan Robi Navicula untuk kompilasi Made in Bali Vol. 4, menjadi salah satu rilisan awal yang membuka pintu estetika mereka. Setelah itu, pada 18 Juli 2025, mereka melepas single When I Feel Alive lewat Dirt and Dust Records. Single ini tersedia di Bandcamp dan platform streaming dan hadir sebagai pernyataan musikal yang melebur tribal, kontemporer, hingga post punk dalam satu hentakan.
Beberapa bulan kemudian, mereka merilis Maxi Single pada September 2025. Isinya dua nomor yaitu Eight Ball feat. Robi Navicula dan Dinasti Matahari (Navicula Cover). Rilisan ini menunjukkan bagaimana Morbid Monke menafsir ulang pengaruh lokal sekaligus mempertegas karakter bunyi yang sedang mereka ramu.
Setelah Maxi Single, katalog mereka kembali bertambah. Sekitar satu minggu lalu, Morbid Monke mengumumkan bahwa EP terbaru mereka berjudul Feel Alive telah resmi rilis di seluruh platform digital. EP ini memuat empat lagu yaitu When I Feel Alive, Paradox, Mary Jane, dan Loser DogGo. Rilisan ini menandai fase penting karena untuk pertama kalinya eksperimen mereka terangkai dalam format mini album yang utuh.
Kiprah bermusik Morbid Monke juga menjulur ke panggung-panggung regional. Morbid Monke lolos seleksi Jimbaran Hub Road to AXEAN Festival 2025 dan tampil di AXEAN Festival, sebuah festival musik Asia Tenggara yang mempertemukan talenta lintas negara. Energi satir dan bunyi nyeleneh mereka akhirnya mendapat audiens yang lebih luas dari Denpasar.
Morbid Monke juga mencuri perhatian publik lewat gigs independen lokal legendaris The Rocktober 2025 di Antida Sound Garden pada 11 Oktober 2025 lalu. Kejenakaan, satire, dan anomali sonik mereka berjumpa langsung dengan penonton yang siap atau tidak siap menerimanya. Rocktober menjadi momen yang menegaskan bahwa keanehan mereka bukan sekadar gimmick melainkan bahasa panggung yang menancap dalam ingatan.
Dalam waktu dekat, Morbid Monke juga akan tampil menemani Komunal di perayaan BGS Bali Anniversary ke 12. Pertemuan dua generasi energi rock ini memberi ruang lain bagi Morbid Monke untuk kembali memutarbalikkan ekspektasi.
Selebihnya, seperti halnya setiap band yang memilih jalur ganjil, Morbid Monke tampaknya belum berniat berhenti. Mereka terus berjalan, terus bereksperimen, terus menantang telinga. Kadang musik terbaik justru lahir dari keberanian untuk terdengar sedikit sakit dan sedikit monke.