Beberapa hari lalu, Fadli Zon yang kini menjabat Menteri Kebudayaan, membuat pernyataan kontroversial soal ingatan sejarah bangsa. Dalam sebuah wawancara dengan redaksi IDN Times, ia menyangkal keberadaan kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998.
Dengan enteng ia menyebut bahwa tidak ada bukti kuat, dan bahwa narasi tersebut “hanya cerita”. Pernyataan ini bukan sekadar bentuk ketidaktahuan seorang pejabat publik, melainkan bentuk penyangkalan terang-terangan terhadap tragedi kemanusiaan yang telah didokumentasikan oleh berbagai lembaga resmi dan independen, dari Komnas Perempuan hingga Human Rights Watch.
Apa yang dikatakan Fadli Zon menurut hemat saya bukan hanya mencederai para penyintas dan keluarga korban, tapi ia juga mencederai seluruh ingatan kolektif kita sebagai bangsa. Dan yang lebih mengkhawatirkan: ia mengatakannya dalam kapasitas sebagai pejabat negara yang bertanggung jawab atas kebudayaan. Saat seorang menteri kebudayaan secara sadar menghapus fakta sejarah, kita sedang menyaksikan bukan sekadar kegagalan moral, tapi upaya sistematis menghilangkan luka dari narasi nasional. Ini adalah bentuk kekerasan kedua atau the second killing, seperti yang dikatakan para aktivis HAM sebagai yakni pembunuhan terhadap ingatan.
Dalam situasi seperti ini, suara sastrawan tak bisa lagi bersembunyi di balik metafora dan estetika. Ketika negara mencoba melupakan, sastra harus mengingat. Ketika kekuasaan menutupi luka, sastra harus menguaknya.
Siapa Berhak Menulis Sejarah?
Sejarah tidak pernah netral. Ia ditulis, dikurasi, dan sering kali dikendalikan oleh yang berkuasa. Ketika Fadli Zon berbicara sebagai Menteri Kebudayaan, ia tidak sekadar menyuarakan opini pribadi: ia sedang memosisikan otoritas negara dalam memilih apa yang dianggap layak dikenang dan apa yang patut dilupakan.
Dalam berbagai rezim, penghapusan sejarah kerap menjadi strategi untuk menciptakan stabilitas palsu. Penguasa tidak membungkam sejarah dengan senapan, tetapi dengan pengabaian. Seperti yang dikatakan George Orwell dalam 1984, “Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past.” Saat narasi resmi mulai menggantikan fakta dengan “keraguan”, kita sedang memasuki wilayah gelap revisi sejarah.
Kementerian Kebudayaan seharusnya menjadi institusi yang merawat keberagaman memori, bukan yang menyaringnya sesuai selera politik. Jika kebudayaan dipersempit menjadi sekadar festival, pameran, dan kesenian tanpa keberanian menyingkap luka sejarah, maka kita tidak sedang merayakan budaya, melainkan menciptakan ilusi nasionalisme kosong.
Luka 1998 yang Ingin Disangkal
Mei 1998 bukan hanya peristiwa politik. Ia adalah letusan kekerasan yang menyasar tubuh perempuan, etnis minoritas, dan warga sipil tak berdosa. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebut adanya kekerasan seksual terhadap puluhan perempuan Tionghoa, termasuk pemerkosaan massal dan kekerasan yang disertai penganiayaan brutal. Komnas Perempuan mengungkap bahwa kekerasan tersebut tidak berdiri sendiri, ada pola, ada pengulangan, ada sistem.
Lebih dari dua dekade setelahnya, luka itu belum sembuh. Negara belum memberi pengakuan resmi, apalagi keadilan. Banyak korban memilih diam karena trauma, stigma, dan rasa takut. Dalam konteks ini, pernyataan Fadli Zon bukan hanya keliru secara faktual, tapi juga brutal secara moral. Ia mengingkari keberadaan mereka yang selama ini terpaksa hidup dalam sunyi.
Dengan menyangkal keberadaan kekerasan tersebut, Fadli Zon seolah ingin menghapus salah satu bab tergelap dalam sejarah republik. Dan inilah yang paling berbahaya: ketika negara mencoba mengatur bukan hanya apa yang terjadi, tetapi apa yang boleh diingat.
Sastrawan dan Tanggung Jawab Etis
Di tengah kegagalan negara mengakui luka sejarah, sastra hadir sebagai salah satu bentuk perlawanan yang paling radikal. Ia tidak bergantung pada lembaga. Ia tidak bisa dibungkam oleh regulasi. Sastra adalah wilayah di mana suara korban bisa hidup kembali, bukan sebagai angka statistik tapi sebagai manusia.
Sejak awal 2000-an, sejumlah sastrawan Indonesia telah mencoba menghadirkan Mei 1998 dalam karya mereka. Ayu Utami menuliskannya dalam Saman dan Larung, dengan keberanian menyentuh seksualitas, kekuasaan, dan trauma. Linda Christanty dan Leila S. Chudori menghadirkan suara-suara yang disingkirkan dalam narasi arus utama. Seno Gumira Ajidarma bahkan menegaskan: “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”
Pernyataan itu kini menemukan relevansinya kembali. Ketika penguasa membungkam sejarah dengan menyangkalnya di depan publik, sastra harus menjadi ruang alternatif untuk mengingat. Dalam setiap cerpen, puisi, dan novel yang mengangkat luka 98, terdapat perlawanan terhadap lupa. Karena lupa, dalam konteks ini, adalah kekerasan yang berulang.
Dalam beberapa tahun terakhir, wajah kebudayaan Indonesia makin ramai dengan festival, seminar, dan perayaan estetika. Tetapi dalam keramaian itu, kita jarang melihat keberanian untuk menghadapi luka sejarah. Tak ada sesi yang membicarakan kekerasan seksual 1998 di panggung utama. Tak ada panel yang membahas peran negara dalam pembungkaman sejarah. Kita menyambut teknologi, AI, dan kreativitas digital, tapi menyingkirkan suara korban ke pinggiran.
Kebudayaan yang melupakan luka adalah kebudayaan yang rapuh. Ia bisa runtuh oleh satu pernyataan pejabat yang menolak bertanggung jawab. Di sinilah sastrawan dan pelaku budaya harus mengambil sikap. Bukan hanya menulis, tapi menolak terlibat dalam proyek estetika yang dikurasi untuk menyenangkan negara.
Negara bisa lupa. Negara bahkan bisa pura-pura tidak tahu. Tetapi sastra tidak boleh ikut lupa. Karena jika sastrawan ikut diam, maka kita semua telah gagal menjaga nyawa yang masih ingin bicara, meski hanya dalam kata-kata.
Pernyataan Fadli Zon adalah alarm. Ia memanggil bukan hanya aktivis atau akademisi, tapi seluruh pelaku budaya untuk mengambil posisi. Karena diam, dalam konteks ini, bukan netralitas. Diam adalah bentuk keterlibatan.
Sastra harus bicara. Dan momen sastra bicara itu adalah sekarang!