Penulis asal Bali, Juli Sastrawan, resmi merilis novel terbarunya berjudul Menuai Badai. Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), format buku cetaknya kini telah tersedia di jaringan toko buku Gramedia dan dapat dipesan melalui berbagai kanal daring.
Dalam unggahan Instagram resminya, @juli.sastrawan, sang penulis menuliskan ajakan sederhana namun penuh harapan: “Semoga teman-teman ada rejeki untuk jajan buku baru.”
Novel ini sendiri mengisahkan seorang lelaki yang dianggap sakit jiwa oleh lingkungannya. Ia digambarkan selalu mengenakan baret kusam dan celana loreng yang diikat tali rafia, semacam seragam usang yang terus dikenakannya, seolah menjadi jimat penangkal hantu-hantu dari masa lalu. Sosok ini hidup dalam pusaran kenangan dan gangguan yang tidak sepenuhnya dapat dipastikan: nyata atau imajinasi? Hantu-hantu yang terus datang menghantuinya bisa jadi hanya suara-suara dalam kepala, namun bisa juga warisan dari sejarah yang gagal diselesaikan.
Melalui tokoh ini, Menuai Badai menghadirkan sebuah narasi tentang tubuh sebagai arsip, pakaian sebagai simbol kuasa, dan sejarah yang bengkok serta tak kunjung berhasil diluruskan. Novel ini tidak hanya berbicara tentang satu individu, melainkan tentang bangsa yang hidup di bawah bayang-bayang trauma politik.
Sedangkan ilustrasi sampul yang digarap cukup apik, menyiratkan ketegangan antara kekuasaan bersenjata dan kematian: sosok lelaki berseragam dengan helm, berdiri di atas ladang tengkorak. Gambaran ini memberi petunjuk bahwa Menuai Badai menghadirkan cerita yang penuh muatan dan layak direnungkan.
Dengan gaya naratif yang psikis, simbolik, dan sesekali magis, Juli Sastrawan menempatkan Menuai Badai dalam lanskap sastra Bali kontemporer sebagai suara baru yang berani. Ia menjauh dari eksotisme dan spiritualisme klise Bali, dan justru masuk ke ranah sejarah kelam dan politik identitas.
Dalam konteks sastra Indonesia, Juli Sastrawan memperkuat arus penulisan pasca-1965 yang menolak lupa, sejajar dengan karya-karya seperti Amba oleh Laksmi Pamuntjak atau Pulau Tidung oleh Martin Aleida—namun dengan gaya yang lebih kontemplatif dan simbolik.

Profil Juli Sastrawan
Juli Sastrawan, bernama lengkap I Putu Juli Sastrawan, lahir di Singaraja, Bali, pada tahun 1992. Ia adalah penulis dan peneliti yang mendalami isu-isu seputar memori kolektif, politik ingatan, serta narasi sejarah dalam seni dan sastra.
Tahun 2022, ia terpilih sebagai Emerging Writers Ubud Writers and Readers Festival dan mengembangkan Situs Ingatan, sebuah proyek yang memadukan praktik seni dan penelitian akademik untuk melihat tarik-ulur hubungan antara keluarga, ruang keseharian, dan Bali era 1965.
Pada 2024, ia menjalani residensi penulisan di Kyoto dan menjadi peneliti tamu di Pusat Kajian Asia Tenggara, Universitas Kyoto. Saat ini, ia tengah mengerjakan proyek fiksi eksperimental yang mengeksplorasi bagaimana ingatan penyintas Peristiwa 1965 dan bom atom Hiroshima dimediasi oleh bentuk-bentuk sastra.