Denpasastra.net
Resensi

Merayakan 25 Tahun Album OK Computer – Radiohead

Jauh sebelum Dustin Tiffani menjadikan “OK Google” sebagai bahan komedi di Youtube Majelis Lucu, membuat bingung aloritma robot AI dengan pertanyaan-pertanyaan absurdnya, frasa serupa lahir 25 tahun yang lalu.

Tepatnya di 21 Mei 1997, grup musik asal Inggris Radiohead resmi merilis album ketiga yang diberi judul ‘OK Computer’ –demikian secara literal ditulisnya.

Dipetik dari percakapan sandiwara radio science fiction jadul ‘Hitchhiker’s Guide to the Galaxy’ yang didengarkan personil band di sebuah perjalanan tur dalam bus, frasa dalam kalimat lengkapnya berbunyi demikian:

Okay, computer, I want full manual control now,” ucap tokoh Zaphod Beeblebrox coba memberi instruksi perintah suara pada komputer.

Dialog itu lantas terngiang-ngiang dan begitu nempel di kepala. Menyisakan perasaan khas para personil band akan kiprah bermusik mereka di peralihan milenial yang bakal terjadi sebentar lagi.

Ketakutan akan gambaran masa depan, optimisme banyak orang pada kecanggihan mesin dan mitos teknologi pintar internet (yang sedang berkembang di akhir era 90 saat itu) jadi bahan bakar utama ketika materi lagu ditulis.

Total ada 12 lagu yang mereka saji, berkisahkan sketsa berbagai kehidupan modern era digital sebagai tafsir atas dialog ‘OK Computer’ ala Zaphod tadi. Sketsa yang kemudian disebut-sebut banyak kritikus musik sebagai ramalan-ramalan, kelak bahwa nubuat tersebut sebagian besarnya telah terjadi dan tetap aktual sampai hari ini.

Wajar bila fans kemudian tersentak disuguhi nomor-nomor rock alternatif dengan gaya bermusik Radiohead yang berbeda dengan dua album sebelumnya

Lewat album yang 80 persen materinya direkam live ini, Radiohead tak hanya berhasil loncat dari pattern bermusik mereka terdahulu dengan tema-tema baru nan visioner, tapi juga mendorong temuan-temuan anyar yang belum pernah dilakukan musisi lain seangkatannya.

Ed O’Brien, Jonny Greenwood, Phil Selway, Thom Yorke, Colin Greenwood
Ed O’Brien, Jonny Greenwood, Phil Selway, Thom Yorke, Colin Greenwood

 

Perihal siapa dan bagaimana kiprah salah satu band rock paling berpengaruh di abad 20 ini, sepertinya tidak akan panjang-panjang saya perkenalkan.

Juga soal deretan prestasi album yang terjual 7 juta kopi worldwide ini, sudah banyak diulas. Termasuk stasiun radio BBC yang pernah menghelat jajak pendapat daring, dan mendapuk OK Computer sebagai Album Terbaik di Era 90-an, menyingkirkan album masterpiece karya R.E.M, U2, Nirvana dan Oasis.

Kalau itu masih kurang taji, simak juga penghargaan Rolling Stone yang menempatkan album studio ketiga Radiohead ini di urutan 42 dalam tahta 500 Greatest Album of All Time, bersanding dengan album rilisan musisi kelas dunia seperti Stevie Wonder, The Beatles, Bob Dylan, Queen dan sederet nama legendaris lainnya.

Apapun itu, yang jelas tepat di bulan Mei 2022 sekarang ia telah berusia 25 tahun, terhitung sejak dirilis pertama kali. Usia yang boleh kita bilang hari ini sebagai salah satu karya klasik penting di dunia industri musik modern.

Tapi alih-alih mengulang selebrasi, postingan blog sederhana ini bakal lebih banyak bercerita pengalaman personal masa lalu saya sih tentangnya, momen eureka yang saya dapat dan jejak warisan album ini di skena lokal yang saya alami.

Saya pun menganggap tulisan ini jadi cara pribadi saya saja merayakan kegemaran mendengarkan album ini, tak bosan-bosannya terhitung dari masa SMA dulu sampai sekarang.

Baca Juga  Based on a True Story: Biografi Pure Saturday Setelah 19 Tahun

Perjumpaan Pertama: Karma Police

Perjumpaan pertama saya dengan OK Computer lebih menyerupai ‘kecelakaan’ daripada sesuatu yang disengaja.

Flashback ke awal 1999 saya dan teman band di SMA dalam perjalanan ke bilangan Taman Siswa, Bandung dari Jakarta menggunakan mobil yang disopiri Ade Bimby kawan satu kelas kami. Sialnya, kami lupa membawa koleksi CD favorit untuk menemani perjalanan.

Padahal, album In Utero-nya Nirvana dan album kompilasi musisi Seattle ‘Deep Six’ adalah rilisan wajib dengar yang sedang jadi heavy rotation kami di tongkrongan.

Cuma Rangga, teman satu kelas juga yang kala itu punya band baru bernama Self Diagnosa, membawa 1 CD yang baru dibelinya.

Design sleeve album yang didominasi putih dengan aksen biru menyerupai jalan raya bebas hambatan, ditimpa dengan beberapa siluet abstrak sosok entah manusia entah alien.

Di bagian atas kiri atas tertulis jelas: OK Computer, Radiohead.

Walhasil, jadilah kami terjebak sepanjang perjalanan PP Jakarta Bandung berjam-jam ter-brainwash 12 lagunya yang mau gak mau diputar berulang-ulang.

Buat angkatan kami yang kala itu tengah terpapar grunge music, menyimak OK Computer dengan settingan audio dan sound system mobil yang mumpuni adalah pengalaman baru nan asing sekaligus seru.

Sound electricambience yang dramatis, aransemen rapih dengan layer bertumpuk, durasi nan panjang serta lirik lagu yang dinyanyikan dengan falset, sangat berkebalikan dengan gaya Seattle Sound yang biasa kami kunyah dengan mengutamakan sound kotor, ambience marah nan depresif, aransemen tiga jurus, serta lirik nihilis yang dinyanyikan dengan vokal berat nan maskulin.

Hal yang saya ingat betul dari first time mendengarkan OK Computer, yakni ada kesamaan nuansa antara futuristic music ala Radiohead dengan raw sound-nya Grunge di outro lagu ke-enam berjudul ‘Karma Police‘ berikut:

Pasalnya setelah beres reffrain ‘Phew for a minute there, I lost myself.. I lost myself..” dilantunkan, distorsi gitar yang keluar dari delay effect dibiarkan loop secara konstan hingga ke kecepatan terendahnya naik turun di menit-menit terakhir.

Teknik gitar ini menciptakan kesan seperti dihadapkan pada benda elektronik yang mengeluarkan sinyal galat dan terbakar hingga meleleh (melting effect).

Sedangkan di sisi lain, teknik eksplorasi bermusik yang sama juga kerap dilakukan musisi Seattle generasi Deep Six yang kerap membiarkan feedback gitar meraung-raung di atas panggung sambil menghancurkan alat musik.

Album Kompilasi Deep Six
Album Kompilasi Deep Six

Hal ini demi menguatkan kesan musik grunge yang destruktif sebagai perlawanan mereka saat itu pada konsumerisme (MTV) dan politik AS (Perang Kuwait) atas runtuhnya janji-janji kapitalisme dan kepercayaan mereka pada pemerintah.

Lewat caranya sendiri, OK Computer via Karma Police telah mendefinisikan ulang destruksi kemarahan Generasi X atas apapun, naik level ke tahap selanjutnya.

This is what you’ll get
When you mess with us

Kemudian di sisi lain, jika kita rewind sejenak ke track 1 pembuka album, dimensi kemarahan dan destruksi ala Gen X seperti yang bisa dilacak dalam atraksi riff tebal ala Negative Creep (Nirvana) berikut:

Baca Juga  Re-Visiting The Brandals Album Pertama

…tak hanya melesap ke dalam musikalitas Radiohead di OK Computer, tapi juga hendak di-recreate dengan nuansa berbau apokaliptik di nomor Airbag pada 30 detik pertama berikut:

Dalam fantasi saya tentang kematian Cobain yang turut menyeret Grunge meredup ke alam kubur menjelang akhir era 90-an, kemarahan itu kini telah lahir kembali dan bereinkarnasi dalam formatnya yang paling mutakhir lewat OK Computer.

In the next World War
In a jackknifed juggernaut
I am born again

Dus sepulangnya ke Jakarta, kegandrungan kami pada grunge music tidak lagi kami amini dengan cara yang sama seperti sebelumnya.

Perjumpaan Kedua: Paranoid Android

Lepas dari momen eureka di perjumpaan pertama itu, waktu melemparkan saya ke masa kuliah. Saya, Ade Bimby dan teman-teman SMA kehilangan kontak dengan Rangga, yang kabarnya sudah stop bermusik dan fokus hijrah.

Padahal Self Diagnosa adalah satu-satunya band satu SMA yang skill personilnya mampu mengulik nomor-nomor sulit di OK Computer dan memainkannya dengan apik dari small gigs hingga ke panggung bergengsi di Poster Cafe.

Band grunge amatir saya sendiri yang dibentuk bersama teman-teman juga sudah bubar jalan seiring gelombang Britpop mulai merajalela di Jakarta.

Sementara itu Poster Cafe, salah satu melting pot kami untuk perkara musik dan manggung, tutup buku tahun itu kabarnya karena pengelola tak sanggup lagi menanggung beban finansial pasca krisis moneter 98.

Dokumentasi Flyer Acara Poster Cafe. Sumber Istimewa
Dokumentasi Flyer Acara Poster Cafe. Sumber Istimewa

 

Meski begitu, sassus tentang Radiohead dan copy-an CD album OK Computer yang berpindah dari tangan ke tangan, lambat laun membentuk circle penggemarnya sendiri meski tidak terlalu menonjol.

Walau basis penggemarnya kala itu tidak sebesar The Stone Roses, Morrissey, Oasis, Blur dan kompatriot bripop lainnya, karya-karya Radiohead dan OK Computer-nya masih terus didengarkan dan digemari diam-diam layaknya hidden gems.

Seiring tingkat pendidikan di kampus dan materi kuliah yang makin kompleks, saya juga mulai mencerna simbol-simbol dan diksi dalam lirik keduabelas lagunya.

Mulai dari kritik atas IMF dan sentimen anti kapitalisme di track Electioneering, keterasingan sosial masyarakat perkotaan di track No Surpises dan Let Down, hingga isu perang dan globalisasi di track-track seperti LuckyParanoid Android serta Fitter Happier.

Sampai akhirnya di kurun tahun 2003 something, nasib membawa saya ke sebuah gigs dengan tema yang langka: tribute gigs bertajuk Radiohead Night yang dihelat di Score, Cilandak Town Square Jakarta.

Leonardo Ringo (Vessel, Zeke and The Popo)
Leonardo Ringo (Vessel, Zeke and The Popo)

Dipandu Morning Bell, sebuah band barunya Leonardo Ringo (Vessel, Zeke and The Popo) yang dibentuk spesial hanya untuk acara malam itu, sedianya bakal menampilkan total sebanyak 33 lagu Radiohead secara live dalam 4 set: era Pablo Honey, era The Bends, era OK Computer dan era album kembar Kid A – Amnesiac.

Namun sebelum aksi Leo dan Morning Bell benar-benar dimulai, MC mengumumkan bahwa acara akan dibuka terlebih dahulu oleh secret guest yang nama bandnya sengaja tidak muncul di poster.

Kala itulah momen eureka saya dengan OK Computer terjadi lagi dalam format berbeda: menyaksikan aksi panggung secret guest yang digawangi Zeke Khaseli, Iman Fattah, Bemby Gusti dan Aghi Narottama. Kolektif rahasia itu memperkenalkan dirinya sebagai band bernama LAIN.

Baca Juga  Mimesis dan Hiperrealitas 'Painting of Life', Sebuah World View

Meski membawakan repertoar-nya sendiri tanpa embel-embel Radiohead, 5 nomor orisinil dari debut (dan satu-satunya) album mereka Djakarta Goodbye yang dibawakan malam itu punya roots yang sama dengan yang saya resapi di OK Computer.

Djakarta Goodby – LAIN
Djakarta Goodby – LAIN

 

Tanpa banyak ba-bi-bu, nomor berjudul Veteran Traveller mengalir dengan sempurna di atas panggung selama 6 menit lebih. Nada-nada minor dengan ritmis tribal sekaligus elektronik, terdengar syahdu dibalut sound piano minimalis dan twinkle petikan gitar yang susul menyusul dengan distorsi tebal ala 90-an.

Bisa disimak, lagu Veteran Traveller sendiri terbagi dalam 5 part aransemen yang berkesinambungan, quite and loud, dan terkesan cenderung menghindari struktur verse-chorus-verse tradisional.

Berdurasi 6 menit 58 detik, keindahan dan kompleksitas track ini mungkin hanya bisa saya sandingkan secara personal dengan pengalaman mendengarkan Paranoid Android-nya OK Computer yang juga terbagi dalam 4 part aransemen dalam durasi yang sama panjangnya.

Pada nomor Boogeyman yang jadi favorit saya, elemen drum diganti dengan suara mic yang diketuk-ketuk mengiringi solo vokal dari awal lagu sampai penghabisan.

Overall, tanpa bermaksud membandingkan OK Computer dengan Djakarta Goodbye dalam pola mana followers mana influencer, saya percaya kedua karya apik ini telah berbagi DNA musikalitas yang sama.

Perjumpaan Terakhir dan Penutup: Exit Music

Sebelum esai personal ini sampai ke bagian penghabisan, harus diakui bahwa saya bukanlah pendengar Radiohead yang baik.

Terlebih pasca Radiohead move-on dari kesuksesan OK Computer, lalu membuat geger industri musik dengan merilis KID A setelahnya dan kembali mengubah musikalitas mereka secara radikal di tiap rilisan album baru, saya memutuskan untuk mundur teratur dan berhenti mengikutinya.

Alih-alih meninggalkan grunge, menutup telinga dan lanjut menjadi fans garis depan dengan semua kecintaan yang saya miliki, OK Computer ternyata seperti sebuah paspor bagi perbendaharaan musik saya: saya kini bebas terbang ke kota tujuan mana saja yang saya mau.

Dari OK Computer, saya tak hanya menemukan LAIN dengan Djakarta Goodbye, tapi juga deretan judul nama dan kota seperti Glow in Transparancy Aurora-nya Korine Conception di Medan, Painting of Life-nya Under The Big Bright Yellow Sun di Bandung, Balada Joni dan Susi-nya Melancholic Bitch di Yogyakarta, Benua Yang Sunyi-nya Garna Ra di Semarang, Suruhan Tuhan-nya Sir Lommar John di Bekasi, Non-Album Tracks and Rarities-nya Cause di Bogor, Menari Dengan Bayangan-nya Hindia di Jakarta, dan lusinan daftar lain tertata rapih, saling berbagi DNA dan ruang yang sama di rak koleksi pribadi saya.

Meski perayaan 25 tahun OK Computer di skena lokal kali ini dirasakan senyap dan sepi, tanpa special gigs tribute atau unggahan konten di sosial media komunitas lokal, bahkan tanpa exposure berita tentangnya di media musik lokal, bagi saya itu bukan soal. Sebab jejak dan warisan OK Computer bagi skena musik lokal hari ini, bisa kita lihat ada dimana-mana dan akan terus berlipat ganda.

Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi