Denpasastra.net

Jegog Spirit Festival 2025: Hari Pertama, Bunyi yang Diajarkan untuk Bertahan

Jembrana tidak sedang memamerkan masa lalu. Pada hari pertama Jegog Spirit Festival 2025, yang berlangsung Jumat, 19 Desember 2025, di Anjungan Cerdas Rambut Siwi, yang bekerja justru adalah masa depan—pelan, berlapis, dan berbunyi rendah.

Pagi hingga siang hari diisi Workshop Seni Jegog. Bukan sekadar agenda pengantar, melainkan ruang belajar yang sungguh-sungguh. Pelajar, komunitas seni, hingga sekaa ibu-ibu dari berbagai wilayah Jembrana duduk berdekatan dengan bambu raksasa yang belum sepenuhnya “bersuara”. Di titik ini, Jegog diperlakukan sebagai pengetahuan, bukan ornamen. Peserta diajak menelusuri sejarahnya sebagai gamelan bambu khas Jembrana, lalu masuk ke hal-hal yang jarang dibicarakan di panggung: tuning, pengikatan bilah, dan disiplin kolektif dalam memainkan instrumen yang ukurannya tak memberi ruang bagi ego.

Jegog memang tidak diciptakan untuk solois. Instrumennya besar, nadanya rendah, getarannya panjang. Bunyi yang lahir dari bambu raksasa itu memaksa kerja bersama. Tidak ada tabuh yang berdiri sendiri; semua bergantung pada kekompakan. Di sini, estetika muncul dari kebersamaan—sebuah pelajaran sosial yang tak tertulis, tetapi terdengar.

Menjelang sore hingga malam, festival bergerak ke wilayah kompetisi. Lomba Tabuh Klasik dan Jegog Tingklik se-Kabupaten Jembrana digelar dengan kategori Truntungan Klasik, Tabuh Tegak Klasik, dan Bebarungan. Puluhan sekaa dari berbagai kecamatan tampil, mengenakan pakaian adat Bali, membawa repertoar yang tak hanya diuji ketepatan tekniknya, tetapi juga konteksnya.

Satu detail penting ditekankan panitia: setiap sekaa wajib mencantumkan credit title—pencipta tabuh, pengaransemen, dan pembina. Ini bukan formalitas administratif. Di dunia kesenian tradisi, pengakuan atas proses kreatif adalah bentuk etika. Bahwa karya tidak lahir dari kekosongan, dan pewarisan bukan sekadar meniru, melainkan merawat garis pengetahuan.

Baca Juga  Sastra di Inggris dalam Ancaman AI: Yang Bisa Kita Pelajari di Indonesia

I Putu Boby Agus Darma, Dewan Juri sekaligus Koordinator Paguyuban Jegog Pring Agung, menegaskan posisi festival ini sebagai ruang keberlanjutan. Jegog, baginya, tidak cukup hanya dipentaskan. Ia harus dipelajari, diresapi, dan diwariskan agar tetap hidup sebagai kesenian original Jembrana—bukan sekadar identitas simbolik, apalagi komoditas.

Hari pertama Jegog Spirit Festival 2025 memperlihatkan satu hal yang sering terlupakan dalam wacana pelestarian: tradisi bertahan bukan karena sering dipamerkan, melainkan karena diajarkan. Ketika bunyi dipahami sebagai pengetahuan dan praktik sosial, bukan hanya tontonan, di situlah Jegog menemukan cara paling jujur untuk terus hidup.

Festival ini masih akan berlangsung hingga 21 Desember 2025, dengan rangkaian pertunjukan, kolaborasi seni, dan diskusi kebudayaan. Tetapi sejak hari pertama, arahnya sudah jelas: Jembrana sedang merawat bunyi—dan melalui bunyi itu, merawat ingatan kolektifnya sendiri.

Tanggapi Tulisan Ini

Yay
Meh
Terima kasih. Responmu menjadi bagian dari arsip bacaan ini.

Klab Baca Kerumitan Sastra

Dapatkan kolom mingguan Kerumitan Sastra langsung ke inbox kamu setiap Minggu pagi. Gratis, tanpa spam.

Baca Kebijakan Privasi untuk info perlindungan data lebih lanjut

Baca Juga

Ubud Jadi Tuan Rumah Ubud Village Jazz Festival 2025, 1–2 Agustus di Sthala

Redaksi

Catat Tanggalnya, 5 Pianist Bali Bakal Tampil Intim di Denpasar

Redaksi

Janet DeNeefe: “Bisakah Kebijaksanaan dan Inovasi Berdampingan?”

Redaksi

Refleksikan Banjir Besar di Bali, Dialog Dini Hari Rilis Single “Bandang”

Redaksi

Lagipula Hidup Akan Berakhir: Merayakan Kekalahan, Lalu Apa?

Preman Laut

Positivisme Palsu ‘Carry On’ ala Soul and Kith

Preman Laut
Opini

Jegog Spirit Festival 2025: Hari Pertama, Bunyi yang Diajarkan untuk Bertahan

Dok Jegog Spirit Fest 2025

Jembrana tidak sedang memamerkan masa lalu. Pada hari pertama Jegog Spirit Festival 2025, yang berlangsung Jumat, 19 Desember 2025, di Anjungan Cerdas Rambut Siwi, yang bekerja justru adalah masa depan—pelan, berlapis, dan berbunyi rendah.

Pagi hingga siang hari diisi Workshop Seni Jegog. Bukan sekadar agenda pengantar, melainkan ruang belajar yang sungguh-sungguh. Pelajar, komunitas seni, hingga sekaa ibu-ibu dari berbagai wilayah Jembrana duduk berdekatan dengan bambu raksasa yang belum sepenuhnya “bersuara”. Di titik ini, Jegog diperlakukan sebagai pengetahuan, bukan ornamen. Peserta diajak menelusuri sejarahnya sebagai gamelan bambu khas Jembrana, lalu masuk ke hal-hal yang jarang dibicarakan di panggung: tuning, pengikatan bilah, dan disiplin kolektif dalam memainkan instrumen yang ukurannya tak memberi ruang bagi ego.

Jegog memang tidak diciptakan untuk solois. Instrumennya besar, nadanya rendah, getarannya panjang. Bunyi yang lahir dari bambu raksasa itu memaksa kerja bersama. Tidak ada tabuh yang berdiri sendiri; semua bergantung pada kekompakan. Di sini, estetika muncul dari kebersamaan—sebuah pelajaran sosial yang tak tertulis, tetapi terdengar.

Menjelang sore hingga malam, festival bergerak ke wilayah kompetisi. Lomba Tabuh Klasik dan Jegog Tingklik se-Kabupaten Jembrana digelar dengan kategori Truntungan Klasik, Tabuh Tegak Klasik, dan Bebarungan. Puluhan sekaa dari berbagai kecamatan tampil, mengenakan pakaian adat Bali, membawa repertoar yang tak hanya diuji ketepatan tekniknya, tetapi juga konteksnya.

Satu detail penting ditekankan panitia: setiap sekaa wajib mencantumkan credit title—pencipta tabuh, pengaransemen, dan pembina. Ini bukan formalitas administratif. Di dunia kesenian tradisi, pengakuan atas proses kreatif adalah bentuk etika. Bahwa karya tidak lahir dari kekosongan, dan pewarisan bukan sekadar meniru, melainkan merawat garis pengetahuan.

Baca Juga  Taufiq Ismail dan Oksimoron Lifetime Achievement UWRF 2025

I Putu Boby Agus Darma, Dewan Juri sekaligus Koordinator Paguyuban Jegog Pring Agung, menegaskan posisi festival ini sebagai ruang keberlanjutan. Jegog, baginya, tidak cukup hanya dipentaskan. Ia harus dipelajari, diresapi, dan diwariskan agar tetap hidup sebagai kesenian original Jembrana—bukan sekadar identitas simbolik, apalagi komoditas.

Hari pertama Jegog Spirit Festival 2025 memperlihatkan satu hal yang sering terlupakan dalam wacana pelestarian: tradisi bertahan bukan karena sering dipamerkan, melainkan karena diajarkan. Ketika bunyi dipahami sebagai pengetahuan dan praktik sosial, bukan hanya tontonan, di situlah Jegog menemukan cara paling jujur untuk terus hidup.

Festival ini masih akan berlangsung hingga 21 Desember 2025, dengan rangkaian pertunjukan, kolaborasi seni, dan diskusi kebudayaan. Tetapi sejak hari pertama, arahnya sudah jelas: Jembrana sedang merawat bunyi—dan melalui bunyi itu, merawat ingatan kolektifnya sendiri.

Tanggapi Tulisan Ini

Yay
Meh
Terima kasih. Responmu menjadi bagian dari arsip bacaan ini.

Klab Baca Kerumitan Sastra

Dapatkan kolom mingguan Kerumitan Sastra langsung ke inbox kamu setiap Minggu pagi. Gratis, tanpa spam.

Baca Kebijakan Privasi untuk info perlindungan data lebih lanjut

Baca Juga

Merdeka Belum 100% di Dunia yang Lain: Blues Perlawanan ala Made Mawut

Preman Laut

Mendengarkan Album ‘Painting of Life’ – UTBBYS dalam Jebakan AI Hari Ini

Preman Laut

Antida Sound Garden Kembali Hadir Setelah 13 Tahun

Redaksi

Pernyataan Thom Yorke Soal Gaza: Dari Cancel Culture Sampai Harapan Kemanusiaan

Preman Laut

The Pianist dan Pertaruhan Ruang Intim di Denpasar

Preman Laut

Nusa Fantasma: Hantu Banda dan Nyanyian dari Laut

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi