Perjumpaan pertama saya dengan Arka Kinari bermula pada pertengahan 2022, pasca pandemi, di Jakarta. Lama sekali rasanya saya tak menonton gigs, dan malam itu saya meniatkan diri untuk turun ke akar—turba—menyaksikan penampilan Filastine dan Nova. Anehnya, konser kecil mereka berlangsung di tempat yang tak biasa: teras utama Gedung Museum Bahari, tidak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Apa sebab?
Tumben ada panggung indie di tempat seaneh ini? Bukankah kancah lokal ibukota—yang kerap mendatangkan musisi luar—masih punya MBloc yang mulai ramai kembali setelah dicabutnya pembatasan sosial? Biasanya gigs digelar di bilangan Kemang, Jaksel, atau ruang-ruang alternatif yang lebih “aman”. Sejak kemunculan Filastine dan Nova yang mengguncang lewat nomor provokatif Colony Collapse (2012), duo ini memang jadi incaran saya untuk disaksikan secara langsung.
Namun fakta di lapangan lebih mengejutkan: panggung musik hari itu tadinya akan digelar di atas kapal. Kami, para penonton, akan menyaksikannya dari tepian pelabuhan. Tapi karena cuaca buruk, lokasi dipindahkan ke darat.
Pada titik ini saya makin merasa awam. Termasuk saat bertemu Raka Ibrahim, kawan seangkatan di Jakartabeat.net dan Disorder Zine, yang malam itu jadi seksi sibuk. Raka menjelaskan bahwa konser ini adalah bagian dari perjalanan maritim Filastine dan Nova. Ia—sebagai salah satu kru kapal—mengikuti mereka menjelajahi pelabuhan-pelabuhan di sepanjang jalur rempah dunia, menggunakan entitas Arka Kinari: kapal jenis sekunar sepanjang 18 meter berbobot 70 ton, yang sejak 2019 menjadi medium kampanye mereka tentang keberlanjutan dan krisis iklim.
Menjelang malam, pertunjukan dimulai. Sebuah layar kain putih dibentang seadanya di antara dua pohon, jadi panggung visual. Lagu berjudul “Imbang” dimainkan dengan tenang, seolah menyambut senja:
Bola api muncul dari ufuk timur menyapu bintang
Sinari, ibu bumi yang birunya tampak lebih dari
Hijau yang kini tergantikan dengan tanah kekeringan
Dan air bah di sisi lain ibu bumi terus bertahan
Bayangan Nova memetik ukulele seperti seorang sinden futuristik, diiringi proyeksi visual olahan Filastine: laut bergelombang, peta jalur maritim, footage dokumentasi awak kapal. Sebuah kisah tentang pelayaran yang dimulai saat dunia shutdown akibat Covid-19.
Bagian paling mengharukan datang ketika Nova bercerita tentang awal pelayaran yang terhambat pandemi: pelabuhan-pelabuhan ditutup, laut jadi ruang tanpa negara. Mereka—awak kapal—terkatung di tengah Samudera Pasifik tanpa tahu ke mana bisa berlindung. Saat itulah terasa betul bahwa dunia sedang menutup diri. Maka penampilan malam itu pun terasa spesial—kami, para penonton, seperti menyambut mereka pulang.
Sejak malam di Museum Bahari itu, saya merasa musik Filastine dan Nova sedang mengarah ke medan yang lebih luas: bukan sekadar lintas genre, tapi lintas dunia.
Live act Filastine & Nova di Museum Bahari, 6 Juli 2022. Dok. Pribadi.
Bagian paling mengharukan tentu ketika Nova berkisah tentang dampak pandemi di awal perjalanan layar mereka ketika, dimana banyak negara yang menutup pelabuhan dan perbatasan laut, membuat awak kapal seperti sekumpulan anasir tanpa kewarganegaraan tanpa jaminan berlindung badai yang datang. Terkatung-katung di tengah laut pasific, mereka baru tersadar bahwa dunia sedang menutup diri. Karenanya, penampilan malam itu menjadi spesial. Saya merasa kami para penonton hadir di waktu yang tepat dalam menyambut mereka pulang kembali ke tanah air.
Sejak penampilan di Museum Bahari itu, saya mulai menangkap biduk musikalitas Filastine dan Nova sedang menuju ke arah mata angin yang berbeda dari rentetan diskografi yang pernah mereka buat sebelumnya.
Nusa Fantasma: Suara dari Kepulauan yang Terlupakan
Ketika single terbaru mereka, “Nusa Fantasma”, dirilis pada 21 Maret lalu, saya seperti menerima pesan dari masa lalu yang terapung. Kali ini, saya bertemu kembali dengan Arka Kinari, bukan di Jakarta, melainkan di Denpasar, dekat Pelabuhan Benoa—tempat kapal itu kini bersandar untuk beberapa bulan ke depan.
Lagu ini bukan sekadar perpaduan musik elektronik dan harmoni Nusantara. Ia adalah nyanyian arwah sejarah, yang membawa kita kembali ke Banda Neira, pulau yang menjadi saksi bisu kolonialisme dan perampasan rempah.
Kata fantasma berarti “hantu” dalam bahasa Spanyol. Sebuah sinyal bahwa lagu ini adalah panggilan dari masa lalu—dari pulau-pulau yang terlupakan.
Filastine dan Nova Ruth menciptakan atmosfer yang melayang di antara nostalgia dan kegelisahan. Ritme poliritmik berpadu dengan vokal Nova yang menyuarakan lirik tentang identitas, bahasa, dan tradisi yang tergilas zaman. Musiknya terasa seperti persilangan antara tradisi Melayu, orkestra film India era 50-an, dan tekstur elektronik yang mengambang, lintas batas dan waktu.
Visual Sebagai Jendela Sejarah
Video klip Nusa Fantasma, yang disutradarai oleh Dibal Ranuh dari Kitapoleng Studio, menjadi manifestasi visual dari konsep yang diusung lagu ini. Mengambil latar laut dan elemen-elemen budaya maritim, video ini menghadirkan simbolisme yang kuat tentang pergerakan, pelayaran, dan jejak sejarah yang tak terhapus. Visual yang ditampilkan terasa seperti mimpi yang kabur, mencerminkan ingatan-ingatan kolektif yang masih berusaha bertahan di tengah arus globalisasi.
Namun di balik kekuatan imajinya, video ini juga menyimpan tantangan dalam penyampaian naratif. Di banyak bagian, transisi antar adegan terasa terlalu cepat, dengan simbolisasi yang cukup padat dan berlapis-lapis untuk dicerna dalam satu kali tonton. Alih-alih memperkuat storytelling, kecepatan tempo visual dan kompleksitas simbol justru sedikit mengaburkan alur cerita yang hendak disampaikan. Alhasil, beberapa makna penting dalam narasi sejarah dan budaya yang coba diangkat menjadi kurang terasa dampaknya secara emosional maupun intelektual.
Meskipun demikian, upaya visualisasi yang berani dan eksperimental ini tetap patut diapresiasi, terutama karena berhasil membuka ruang interpretasi yang luas bagi penonton untuk membaca ulang sejarah maritim Nusantara dari sudut pandang yang lebih puitis dan reflektif.