JEMBRANA — Pemerintah Kabupaten Jembrana melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan akan menyelenggarakan Jegog Spirit Fest 2025 pada 19–21 Desember di Anjungan Cerdas Rambut Siwi. Festival ini menghimpun lebih dari 90 sekhe Jegog dan sedikitnya 1.500 seniman, menjadikannya salah satu perhelatan budaya terbesar di Bali Barat yang merangkum pertunjukan, dialog kebudayaan, lokakarya, pameran, hingga eksperimen artistik lintas disiplin.
Festival ini digagas sebagai sebuah ruang wacana dan praksis kebudayaan yang menempatkan Jegog bukan hanya sebagai seni pertunjukan, tetapi sebagai model relasi sosial, ekosistem pengetahuan, dan penanda identitas Jembrana. Jegog—lahir dari bambu, tanah, dan tata hidup agraris masyarakatnya—menjadi spirit sosial-budaya yang menegaskan karakter Jembrana: terbuka, gotong royong, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Bupati Jembrana, I Made Kembang Hartawan, menegaskan bahwa festival ini adalah komitmen jangka panjang daerah dalam merawat identitas budaya sekaligus memperluas ruang hidupnya. “Jegog adalah denyut Jembrana. Ia bukan hanya musik, tetapi memori kolektif, kedisiplinan sosial, dan energi kebersamaan masyarakat kami. Jegog Spirit Fest kami hadirkan untuk memastikan bahwa warisan ini terus relevan, terus hidup, dan terus memberi makna bagi generasi mendatang,” ujarnya.
Mengusung tagline “The Sound of Jembrana”, festival ini mereposisi Jegog sebagai lanskap bunyi yang mengafirmasi hubungan mutual antara manusia, alam, dan kreativitas lokal. Pendekatan ini sejalan dengan langkah strategis Kabupaten Jembrana dalam memperkuat narasi menuju pengakuan Jegog sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia UNESCO, di mana aspek komunitas, keberlanjutan, dan partisipasi publik menjadi pilar utama.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jembrana, Anak Agung Komang Sapta Negara, menyampaikan bahwa festival ini menjadi momentum untuk mengonsolidasikan seluruh potensi ekosistem kreatif daerah.
“Kami tidak hanya menampilkan Jegog sebagai pertunjukan, tetapi sebagai ruang dialog, penelitian, dan kolaborasi. Festival ini membuka kesempatan bagi masyarakat, akademisi, dan seniman untuk membaca ulang Jegog sebagai sumber inovasi budaya yang strategis bagi Jembrana,” ungkapnya.

Rangkaian program disusun bersama Negara Creative Lab sebagai rangkaian simpul pengetahuan: pop-up market dan kuliner, pameran kriya berbasis bambu, workshop ilustrasi dan bambu, pameran foto, serta instalasi seni yang menelusuri evolusi estetika Jegog. Program diskusi dan Jegog Lifetime Achievement Award mempertegas posisi festival sebagai ruang refleksi kritis atas sejarah, inovasi, dan kontribusi para maestro Jegog dari masa ke masa.
Secara khusus, Jegog Spirit Fest 2025 membuka ruang kolaborasi lintas disiplin—menghubungkan musisi tradisi, seniman kontemporer, perupa, desainer, peneliti, hingga kreator muda. Dalam konteks ini, Jegog dibaca ulang sebagai medium yang inklusif, eksploratif, dan relevan dengan praktik seni mutakhir, sekaligus memperluas perspektif bahwa tradisi dapat bersinggungan secara organik dengan dunia kreatif yang terus berkembang.
Direktur Festival, Wena Wahyudi, menekankan bahwa pendekatan festival tahun ini berorientasi pada pembaruan makna dan partisipasi ekosistem kreatif.
“Jegog Spirit Fest tidak sekadar menampilkan seni, tetapi menciptakan medan pertemuan. Di sinilah masyarakat, seniman, dan pemikir budaya dapat berinteraksi, menafsir ulang Jegog sebagai spirit sosial—sebuah energi kolektif yang menyatukan masa lalu, kini, dan masa depan Jembrana,” jelasnya.
Dengan partisipasi komunitas kreatif, perajin bambu, institusi budaya, kolaborator seni, dan dukungan media lokal, festival ini diproyeksikan menjadi platform budaya yang tidak hanya merayakan warisan, tetapi juga mengartikulasikan arah masa depan kebudayaan Jembrana. Pada titik inilah Jegog Spirit Fest 2025 menjadi strategi kebudayaan yang menegaskan bahwa tradisi bukanlah artefak masa lalu—melainkan sumber daya hidup yang terus diperbarui melalui partisipasi, kreativitas, dan kolaborasi lintas generasi.
Melalui momentum ini, Jembrana menegaskan visinya: bahwa Jegog bukan sekadar bunyi, melainkan bahasa kolektif, modal sosial, dan strategi kebudayaan yang menghubungkan warisan lokal dengan imajinasi global.