Denpasastra.net
Ilustrasi karya Pellipeace.
Opini

Taufiq Ismail dan Oksimoron Lifetime Achievement UWRF 2025

Salah satu festival sastra bergengsi, Ubud Writers & Readers Festival kembali hadir tahun ini. Dihelat sebagai edisi ke-22, UWRF 2025 sedianya bakal dihelat pada 29 Oktober hingga 2 November mendatang.

Tema yang diusung tahun ini pun terbilang apik: Aham Brahmasmi sebuah konsep kuno yang dipinjam dari literatur Hindu bermakna ‘I am the Universe’, sebuah seruan tentang keterhubungan manusia dengan semesta.

Sekilas lalu, tema ini mengandung pentingnya dialog lintas budaya dan kebebasan gagasan kreativitas. Namun ketika penyelenggara baru-baru ini mengumumkan penghargaan Lifetime Achievement Award tahun ini, UWRF justru memunculkan Taufiq Ismail, nama yang terlalu dekat dengan kekuasaan dan bertolak belakang dengan esensi Aham Brahmasmi itu sendiri.

Perkaranya begini. Kita semua tentu tidak menolak bahwa Taufiq Ismail punya kiprah panjang, jejaknya jelas menempel dalam sejarah sastra Indonesia, puisinya diajarkan di sekolah. Suaranya kerap jadi kompas moral bagi sebagian orang dan ia lama berdiri sebagai penjaga Majalah Horison yang menentukan arah sastra Indonesia pada zamannya.

Tapi tanpa mengurangi rasa hormat terhadap karya-karyanya, kita juga tidak lupa bagaimana Taufiq Ismail lahir dari pusaran politik pasca-1965. Posisinya sebagai penggagas majalah Horison ikut membentuk apa yang dikenal kemudian sebagai kanon sastra Orde Baru. Ia juga secara aktif berdiri berseberangan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian dibubarkan setelah peristiwa 1965.

Dus, posisi ini membuatnya tak hanya dikenal sebagai sastrawan ‘terkenal’, tapi juga sebagai figur publik yang turut meneguhkan narasi dominan negara tentang siapa yang boleh diingat dan siapa yang dibiarkan hilang. Sama seperti aksinya di keredaksian Majalah Horison menentukan mana karya yang naik cetak dan mana karya yang dibuang.

Baca Juga  Negara Bisa Lupa, Tapi Sastra Tidak: Menyikapi Penyangkalan Fadli Zon atas Tragedi 1998

Yang menarik, penghargaan ini hadir di tengah situasi politik kebudayaan yang rawan manipulasi sejarah. Ada kekhawatiran publik dari proyek penulisan ulang oleh Kementerian Kebudayaan yang mencoret fakta getir dan mendapat respon negatif dari banyak pihak, terutama dari kalangan pegiat HAM dan sejarawan.


BACA JUGA | Negara Bisa Lupa, Tapi Sastra Tidak: Menyikapi Penyangkalan Fadli Zon atas Tragedi 1998


Maka wajar bila muncul pertanyaan: apakah UWRF sedang menjadi saluran soft power rezim? Apakah penghargaan sastra di Indonesia bisa benar-benar lepas dari patronase politik, apalagi bila menteri terkait punya relasi kekerabatan dengan penerima penghargaan? Apakah dengan demikian, penghargaan ini bukan murni semata apresiasi atas karya panjang seorang sastrawan seumur hidupnya, melainkan juga sebuah pernyataan politik?

Di sinilah kontradiksinya mencuat: sebuah festival yang mengaku merayakan semesta, tetapi justru meneguhkan polemik yang belum sepenuhnya sembuh dari luka lama. Artinya juga, penghargaan ini bukan sekadar soal ‘nama senior yang masih hidup dan sudah lama berkarya,’ melainkan ikut mengabadikan narasi dominan yang terbentuk dari penyingkiran lawan-lawan ideologisnya.

Lebih jauh lagi, festival ini sendiri berpijak di Ubud, di tanah Bali yang eksotikanya digadang-gadang sebagai magnet dunia. Namun ketika tiba saatnya memberi legitimasi tertinggi di bawah gagasan Aham Brahmasmi, yang dipilih justru tokoh pusat yang sudah mapan dari kekuasaan dan problematik.

Betul bahwa Bali memang belum banyak melahirkan figur sebesar Taufiq Ismail dalam skala nasional. Tetapi justru di situlah urgensi UWRF: bukan memperpanjang pusat, melainkan melahirkan pusat-pusat baru. Memberi penghargaan pada figur jauh dari Bali hanya akan menempatkan Ubud dalam kerangka eksotisme pariwisata yang tak hanya kapitalistik, tapi juga oligarkik.

Baca Juga  Mendebat Kandungan Nutrisi 'Candu Baru'

Semesta yang dijanjikan UWRF akhirnya terasa menyempit. Alih-alih membuka jalan bagi keragaman perspektif, festival ini kembali ke orbit lama: aman, mapan, kering kejutan. Sebuah pengulangan kanon yang bukan hanya usang, melainkan juga oksimoron. Padahal universalitas mestinya jadi ruang rekonsiliasi, bukan sekedar jadi cermin masa lalu yang beku, atau legitimasi kultural bagi status quo hari ini.

Pertanyaan-pertanyaan ini penting bukan untuk menegasikan capaian Taufiq Ismail, melainkan untuk menunjukkan bahwa setiap penghargaan adalah keputusan politik. Ia menentukan siapa yang layak diingat, siapa yang boleh dilupakan.

Saya pribadi tidak ingin menafikan nilai UWRF. Setiap tahun saya menunggu festival ini, membaca daftar pembicara, membayangkan percakapan yang lahir di ruang-ruang Ubud.

Tetapi tahun ini, UWRF seperti terjebak dalam oksimoron: menjual pluralisme, tetapi mempraktikkan eksklusivitas. Menyerukan kosmik, tetapi menetapkan satu bintang.

Apapun itu, wacana oksimoronnya UWRF dalam pandangan saya pribadi bukan akhir percakapan sastra kiwari yang tengah saya selami. Tulisan op-ed ini pun tidak diniatkan sebagai zero-sum game bagi institusional maupun penyelenggara festival sastra dimanapun, melainkan sekedar pemicu pertanyaan lebih jauh yang lahir dari keresahan personal atas kondisi Bali belakangan hari ini dan alam kreativitasnya.

Sebab sastra Indonesia tidak hanya hidup di pusat kekuasaan. Ia juga hidup di suara-suara yang dipinggirkan, di karya yang tak pernah masuk kurikulum, di tubuh pengarang yang tak dilembagakan negara.

Yang saya percaya, semesta itu ada, tetapi memang belum semua bintang diberi cahaya.

***

Ilustrasi karya Pellipeace. Instagram @pellipeace

Baca Juga

Negara Bisa Lupa, Tapi Sastra Tidak: Menyikapi Penyangkalan Fadli Zon atas Tragedi 1998

Preman Laut

Bukan Sekadar Festival Musik: Catatan dari UVJF 2025 dan Polemik Jazz Indonesia

Preman Laut

Netaudio dan Kita

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi