Denpasastra.net
Esai

8.414 Kata untuk Kontemplasi yang Tak Pernah Selesai: ‘Membaca Ulang’ Lagu-Lagu Peterpan

Tahukah kamu kalau sepanjang kariernya, Peterpan menyanyikan 83 lagu dalam 7 album yang memuat 8.414 entri kata? Mayoritas lirik lagunya bicara soal kontemplasi, romantisisme dan kehilangan. Semuanya dikisahkan saat tokoh utamanya merenung sendirian.

Kalau semua lagunya didengarkan dalam satu duduk, efeknya mungkin bisa menyerupai lusinan sesi konsultasi psikolog bolak-balik dan deretan film rom-com yang ending-nya ambyar.

Menyimak kemunculan pertama di album kompilasi Kisah 2002 Malam hingga rekaman terakhir mereka di Suara Lainnya (2012) yang instrumental, saya tergelitik melacak bagaimana Peterpan berubah dari band anak bawang di kawasan Antapani, Bandung menjadi nama besar yang banyak diganjar berbagai penghargaan nasional. Semua pencapaiannya dalam kurun waktu 2000 sampai 2010-an, membuat frontman band mainstream manapun saat itu merasa perlu mengekor cengkok pita suara Ariel dalam bernyanyi dan menulis lirik.

Bermodalkan kegandrungan dan ingatan saya masa remaja, penelusuran mengarah pada arsip lagu-lagunya di situs database lirik lagu terbesar di dunia Genius.com atas diskografi Ariel cs ini di era Peterpan sebelum menjelma jadi Noah. Lewat metode data cleansing sederhana, koleksi ke-83 lirik lagu tersebut dikumpulkan untuk diekstrak satuan kata terkecilnya dan dicari kesamaan kata-kata tertentu yang konsisten. Dengan penilaian personal dalam mengukur sentimen secara subjektif sebagai indikator, dataset ini kemudian dihimpun di Google Spreadsheet lalu diolah via Looker Studio. Lewat proses ini, ada pola-pola menarik yang memudahkan kita melakukan ‘pembacaan ulang’ Peterpan lewat visualisasi data berikut.





Hasilnya? Dari total 8.414 entri kata tadi, ada 775 varian kosakata Bahasa Indonesia yang dipakai, dengan pengulangan kata ‘aku’ sebanyak 392 kali. Diksi seperti ‘kau’, ‘hatiku’, ‘hancurkan’, ‘mengerti’, ‘bintang’, dan ‘sendiri’ jadi entri kata yang paling banyak disebut.

Baca Juga  Deva Dianjaya Rilis Album Perdana Pendevasaan, Tawarkan Nuansa Baru Musik Patah Hati

Sedangkan dari komponen lagu utuh, indikator sentimen terbanyak tentu saja jatuh pada tema ‘kontemplatif’ yang muncul di 23 lagu seperti Mimpi yang Sempurna atau Aku dan Bintang. Tema ‘kehilangan’ dan ‘romantisisme’ di masing-masing 13 lagu semisal Yang Terdalam atau Kukatakan Dengan Indah. Sayangnya, topik penting seperti ‘isu sosial’ menyusul paling bontot hanya di 1 lagu saja yakni Kupu Kupu Malam karya alm Titiek Puspa yang dibawakan ulang.

Semua temuan ini mungkin berguna memberi ruang tafsir yang lebih luas: apakah dominasi aku yang diulang-ulang lewat tema kontemplatif dan romantisisme merupakan kebangkitan individual dari generasi yang baru akil baliq di masa reformasi? Mungkinkah lirik-lirik Peterpan yang terkesan apolitis itu, sejatinya merupakan bentuk trauma kolektif yang lelah dengan represi Orba satu angkatan sebelumnya?

Lantas mengapa dari 8.000-an entri kata, bentuk aktif seperti “aku melawan”, “aku memilih”, atau “aku menyembuhkan” nyaris tidak muncul? Yang ada justru “aku menunggu”, “aku diam”, “aku bertanya”, dan “aku masih di sini”, seolah-olah hidup hanya berputar dalam ruang batin yang stagnan dan penuh tanya.

Bahkan hampir semua lagu mereka berakhir dalam ketidakpastian. Tidak ada resolusi. Tidak ada kejelasan apakah tokoh dalam lagu akan baik-baik saja. Banyak lagu berhenti di pertanyaan atau pengakuan bahwa semuanya masih belum selesai. Hal ini seolah menegaskan bahwa Peterpan bukan band yang menawarkan solusi, melainkan cermin, tempat orang melihat kembali kabut dalam dirinya sendiri.

Tidak ada heroisme dalam lirik mereka memang. Bahkan dalam lagu-lagu dengan tempo cepat seperti Topeng, Mimpi yang Sempurna, atau Di Balik Awan, atmosfer lirik tetap murung dan penuh kecemasan. Peterpan seperti menolak euforia kebebasan demokrasi di ruang publik. Alih-alih melawan, boleh jadi Peterpan lebih memilih duduk di pojok kamar sambil menatap langit-langit.

Baca Juga  Review Buku Kumcer 'Manusia Manusia': Kisah yang Menjalar dari Ingatan ke Imajinasi

Tampaknya inilah gambaran Peterpan sebagai cermin psikologi remaja urban awal 2000-an: individualis, reflektif, tapi juga emosional dan tidak stabil secara emosi, perasaan, sikap, minat, nilai, dan aspek-aspek psikologis lainnya.

Kalaupun sampai hari ini saya masih rajin memutar nomor-nomor lawas Peterpan, harus diakui pola-pola menarik di atas mempertegas bahwa seberapapun banalnya karya-karya Peterpan mereka tampak piawai merekam suasana kolektif nasional pada zamannya, tempat jutaan anak muda Indonesia menggantungkan perasaan yang tak bisa mereka ucapkan dengan logika tapi bisa mereka nyanyikan dengan suara serak, berat dan sengau.

Tak heran kalau ia banyak menghasilkan hits. Toh ketidakstabilan emosi satu generasi milenial inilah yang kelak melandasi lahirnya zeitgeist Gen Z yang dikenal lembek, instan dan memiliki problem dengan mental health hari ini.

Delapan ribu entri kata yang selama ini diusung Peterpan mungkin bukan untuk menyelesaikan apa pun. Bukan karena kita belum move on, tapi mungkin karena kontemplasi itu sendiri adalah proses yang tak pernah benar-benar selesai. Apapun label generasinya.

Yang kita bisa hanya memutar ulang, dan menyanyikannya bersama-sama atau sendirian. Sampai mungkin semuanya akan terasa sedikit lebih masuk akal, entah kapan.

Baca Juga

Pernyataan Thom Yorke Soal Gaza: Dari Cancel Culture Sampai Harapan Kemanusiaan

Preman Laut

Dua Penulis Bali, Tan Lioe Ie dan Pranita Dewi, Masuk Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Preman Laut

Sastrawan Harus Miskin

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi