Denpasastra.net
Foto: Dok. UVJF
Esai

Jazz Antar Benua Rasa Ubud: Catatan Pandangan Mata Hari Pertama Sthala UVJF 2025

Sore itu hawa Ubud sedikit mendung dan lembap ketika saya tiba di kompleks Sthala, a Tribute Portfolio Hotel by Marriott di kawasan Lodtunduh, Bali. Tepatnya di Jumat, 1 Agustus 2025 kemarin saya sedianya hendak hadir memenuhi ibadah jazz di Ubud Village Jazz Festival 2025.

Rundown yang dimulai hampir tepat waktu dan open gate hanya terlambat sekitar 15 menit yang masih sangat ditoleransi, saya masuk ke venue tanpa ba-bi-bu. Dari hitung-hitungan saya, dua panggung berdiri di sisi yang berbeda di area hotel: Giri Stage membelakangi area depan, sementara Subak Stage dibangun menyatu dengan hamparan undakan lalu turun ke sebelah sungai di belakang hotel.

Tak seperti tahun lalu yang menggunakan tiga panggung memang, tahun ini UVJF hanya mengaktifkan dua area pertunjukan. Upaya ini menurut hemat saya cukup bijak, karena mempertimbangkan agar keluaran sound panggung Giri dan Subak tidak overlapping, malah ini justru memberi kesan lebih terfokus dan intim.

Menilik sejarahnya, festival ini sudah memasuki tahun ke-13 loh. Hal ini jelas sebuah pencapaian yang tidak bisa dianggap enteng. Di tengah pasang-surut penyelenggaraan acara musik di Indonesia, apalagi untuk genre seperti jazz yang tidak selalu dianggap komersial, UVJF menunjukkan konsistensi yang patut diapresiasi. Sejak 2013 festival ini menjadi titik temu antara jazz, komunitas, dan keunikan lanskap budaya Bali. Bukan sekadar tontonan, melainkan juga jejaring lintas benua, negara dan generasi.

Yang jadi catatan, di hari pertama ini tetap hadir beberapa tokoh yang cukup beragam latar belakangnya: dari manajemen hotel, perwakilan PHRI, hingga kepala divisi pemasaran dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Sambutan Prof. Tjokorda Oka dari Puri Ubud misalnya, menekankan pentingnya peran UVJF sebagai atraksi budaya Ubud yang modern namun tetap berakar.

Baca Juga  Sastrawan Harus Miskin

“Terima kasih kepada UVJF yang telah konsisten melaksanakan acara ini sebagai sebuah atraksi luar biasa untuk Ubud. Musik jazz bisa masuk ke Ubud, dan ke depan, acara seperti ini harus selalu direncanakan dan dilanjutkan,” ucap Tjokorda saya kutip lengkap. Pernyataan ini sederhana namun mencerminkan keberhasilan festival ini menyatu dengan denyut lokal.

Sayangnya, saya belum berkesempatan menanyakan lebih dalam bagaimana bentuk dukungan dari para stakeholders ini kepada para penyelenggara, apakah ini hanya moril atau ada upaya dukungan materiil baik itu dalam bentuk kerjasama komersial atau model bisnis tertentu. Bukan bermaksud kritis, pasalnya dukungan sponsorship harusnya bisa sejalan dengan jaminan sustainability agar wejangan Tjokorda tidak berhenti sampai di angan-angan saja.

Saya dan tentu harapan banyak orang dalam kepalanya berharap UVJF bisa terus hidup dan menghidupi idealisme jazz yang kami semua percayai. Karenanya menurut hemat saya, stakeholders ini tentu haruslah berperan penting tanpa tedeng aling-aling.

Setelah seremoni pembukaan lewat countdown simbal simbolis oleh para pendiri dan pejabat pariwisata, East West European Jazz Orchestra (EWEJO) langsung mengambil alih suasana dengan fanfare pembuka. Big band asal Eropa ini memadukan komposisi klasik seperti Chega de Saudade dengan Street Life, diperkaya oleh vokal energik Dian Pratiwi yang kembali tampil di tanah air.

Sementara itu di Subak Stage, Smokey Chamber Trio membuka festival dengan formasi akustik yang hangat. Komposisi seperti Kesari dan Free Delivery menunjukkan pendekatan jazz yang lebih kontemplatif. Di sisi lain kompleks, SILK dari Jerman memanaskan Giri Stage dengan repertoar funk dan soul, mulai dari Tiki Hut Strut hingga Boogie Down. Penonton langsung menyambut ritme dinamis mereka dengan antusias.

Baca Juga  Bogie Prasetyo: Jazz Itu Minoritas, Tapi Kami Setia

Salah satu penampilan paling mencolok datang dari Jazz Steps, duo asal Vietnam yang memadukan struktur jazz modern dengan ritme dan instrumen tradisional negaranya. Ini bukan sekadar eksperimen, tetapi bentuk presentasi kebudayaan dalam format kontemporer. Sesi mereka seperti jembatan dari Asia Tenggara ke Eropa Timur, yang kemudian dilanjutkan oleh New Centropezn Quartet asal Rusia dengan sentuhan soul dan folk Armenia dalam aransemen mereka.

Sore menjelang malam, penonton mengalir kembali ke Subak Stage untuk menyaksikan kolaborasi Astrid Sulaiman, Soukma, dan Doni Wirandana. Selain membawakan karya pribadi seperti Motherhood dan Midnight in Mumbul, mereka juga menginterpretasi lagu tradisional Panon Hideung dalam balutan jazz harmonis. Di sini, jazz bukan hanya soal improvisasi, tapi juga alat untuk menerjemahkan ulang ingatan kolektif.

Dua penampil terakhir hari itu Bojan Cvetković Quartet dari Serbia dan Gayatri Quartet memberi penutup yang seimbang. Bojan membawakan jazz modern dengan aksen Balkan, sementara Gayatri memadukan standar seperti Desafinado dengan lagu pop seperti Black & Gold. Sebuah pergeseran dari bentuk tradisional ke pendekatan yang lebih terbuka.

Hari pertama UVJF 2025 berjalan tertib dan penuh warna, tanpa sensasi yang berlebihan tapi tetap sarat kejutan musikal.

Bagi saya, yang datang sebagai perwakilan dari Denpasastra untuk pertama kalinya, ini adalah pengantar yang pas ke dalam lanskap jazz yang cair namun tetap berakar. Sebuah pengalaman yang memperlihatkan bagaimana jazz terus bergerak, bukan hanya di atas panggung, tapi juga di antara penonton, penyelenggara, dan lanskap lokal yang menjadi ruang tumbuhnya.

Besok (Sabtu, 2/08), UVJF akan kembali. Dua panggung, deretan musisi, dan semangat yang tak kunjung padam.

Baca Juga

Sastrawan Harus Miskin

Preman Laut

8.414 Kata untuk Kontemplasi yang Tak Pernah Selesai: ‘Membaca Ulang’ Lagu-Lagu Peterpan

Preman Laut

Menafsirkan Bib Bob

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi