Indeks Konten
Sejak suku purba menjiplak telapak tangannya sendiri di dinding-dinding gua untuk berkomunikasi, hingga seniman avatar hari ini merangkai kode prompt ke ChatGPT untuk menghasilkan lukisan hiperealistik, hasrat manusia dalam meniru dunia di sekelilingnya masih esensial diperbincangkan. Bedanya, tiruan hari ini justru sering tampil lebih stabil daripada realitas yang direproduksinya, terutama ketika realitas kita sehari-hari dibentuk oleh banjir bandang, disrupsi informasi, dan politik yang makin digerakkan segelintir elite.
Dalam filsafat seni kontemporer, upaya meniru itu disebut mimesis: usaha menghadirkan ulang realitas lewat sebuah karya. Di sisi lain, tiruan hasil mimesis juga berpotensi menghancurkan realitas itu sendiri, menyisakan dunia yang tak pernah hadir utuh kecuali sebagai bayang-bayang yang bisa direkayasa, direvisi, atau dirender ulang seperti layer dalam perangkat lunak.
Ambiguitas dua sisi inilah yang saya temui pada Painting of Life (POL), debut album post-rock Under the Big Bright Yellow Sun (UTBBYS) yang rilis pada 2011: sebuah tahun yang kini terasa seperti dunia lain sebelum kita semua terperangkap dalam hiperrealitas digital dan kabar darurat ekologis yang datang bertubi-tubi.
Berisi tujuh lagu nir-vokal, POL dibangun dari tumpukan layer ebow, glockenspiel, dan tiga twinkle guitar yang saling tambal sulam. Tema ‘Painting of Life’ terasa dipetik dari khazanah sederhana pengalaman keseharian para personil band sebagai suatu kesederhanaan yang kini kontras dengan kehidupan pasca-2010-an yang dibanjiri notifikasi, algoritma, dan ketidakpastian cuaca ekstrem.
Menyibak Ambiguitas UTBBYS
Hal pertama yang patut dicatat dari ambiguitas POL adalah pilihan UTBBYS untuk menulis seluruh lagu tanpa lirik. Ketiadaan lirik ini bukan hambatan, justru menjadi dasar bagi permainan makna yang mereka bangun. Judul lagu, urutan track, tempo, pilihan instrumen, dan aransemen menjadi petunjuk yang suka atau tidak harus saya baca dan tafsirkan menurut sudut pandang saya sendiri.
Album dibuka oleh Breath Symphony dengan tempo andantino. Petikan gitarnya yang dreamy dan klasik memberi kesan kelahiran: sebuah “nafas pertama” yang pelan namun membangunkan.
Track kedua, Circus Travelling Show, membawa pendengar ke fase kanak-kanak. Melodinya yang jenaka berpadu dengan pola quiet/loud seperti suasana sirkus keliling yang riang, tiba-tiba muncul, lalu hilang begitu saja. Jika Breath Symphony adalah bayi yang baru bernafas, maka track ini menggambarkan masa bermain yang bebas dan tak memikirkan arah.
Suasana berubah saat memasuki track ketiga, Golden Day (Finally Found). Ini track terpanjang di album, sekaligus hasil aransemen ulang dari versi lamanya. Judulnya selaras dengan identitas band—“Golden” dengan “Yellow”, “Day” dengan “Sun.” Di titik inilah POL seperti menegaskan pencarian jati diri, layaknya remaja yang mulai menemukan dirinya.
Track keempat dan kelima, Robotics dan Happiness Between Us, menjadi simbol kedewasaan. Musiknya menyiratkan perjumpaan dengan dunia sosial yang lebih rumit, termasuk hubungan antarmanusia yang memberi terang sekaligus tantangan.
Pada track keenam, Time Is Near, salah satu personilnya pernah bercerita kepada saya pribadi bahwa ia terinspirasi oleh sebuah surah pendek tentang waktu. Ayat-ayat ini menyinggung manusia yang merugi kecuali mereka yang beramal saleh dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dari sini, saya menangkap upaya spiritual yang halus. Musiknya seperti khutbah yang pecah ke dalam ebow berdurasi enam menit, ditemani glockenspiel yang saling mengejar hingga memuncak di akhir. Kedewasaan emosional yang hadir di track sebelumnya kini lengkap dengan kedewasaan spiritual.
Threshold menjadi penutup yang paling kuat. Setiap instrumen seperti diberi ruang untuk melebarkan diri. Hasilnya adalah ledakan melodi yang memenuhi batas akhir perjalanan album. Track ini tidak sekadar mengakhiri POL dengan aman, tetapi meninggalkan kesan tentang “ambang”: saat seseorang yang menua berhadapan dengan ajal, namun dalam waktu yang sama menyiapkan langkah memasuki awal yang baru. Seperti siklus hidup yang kembali ke titik awal, POL mengajak pendengar memutar album dari awal lagi—mengulangi penjelajahan yang sama, namun dengan pemahaman yang selalu berubah.
Menjaring Hiperrealitas Painting of Life
Konsep awal POL bukan sekadar album musik; ia sejak awal dimaksudkan sebagai transkreasi lintas medium, ketika tiap track diterjemahkan menjadi karya lukisan oleh sejumlah seniman Bandung. Dulu, ini terasa sebagai eksperimen estetis. Kini, ia seakan memetakan mekanisme yang dilakukan kecerdasan buatan: audio diterjemahkan menjadi visual, lalu kembali ke audiens sebagai identitas baru yang tak pernah stabil.
POL adalah tiruan atas tiruan. Dan hari ini hiperrealitas semacam itu menjadi udara yang kita hirup. Gambar banjir bandang hasil AI bisa tampil lebih meyakinkan daripada dokumentasi aktual; klip video statement politikus bisa direduksi menjadi infografis yang tampak objektif tetapi sepenuhnya dikonstruksi. Tiruan tak lagi sekadar refleksi; ia membentuk persepsi publik, mempengaruhi pilihan politik, bahkan mengatur definisi krisis. Dalam hal ini POL terasa visioner.
Seniman Gigin Ginanjar kemudian meresponsnya lewat topeng rubah, tetesan darah, barisan padi, pulau melayang ala Dali, sebagai ikon yang dibingkai empat siku merah dan deretan bilangan misterius menjadi sampul album yang memorable. Seperti dunia kita hari ini, visual POL menggabungkan arsip, simulasi, dan simbol dalam satu frame yang tak lagi bisa dibedakan mana yang asli dan mana yang hasil proses.
Membangun World View Bersama
Sebagai penutup, kita bisa bertanya di mana posisi POL hari ini di tengah audiens Indonesia yang terjepit antara kehancuran ekologis, kebuntuan demokrasi, dan serbuan AI yang membentuk ulang persepsi realitas?
POL menariknya tidak mengambil posisi politis eksplisit. Justru dalam ketakpastian posisinya itu, ia menghadirkan world view alternatif: sebuah undangan untuk menciptakan dunia kecil secara personal, ketimbang terjebak dalam wacana besar yang sering diambil alih oligarki atau perangkat algoritmik.
Di saat banyak karya musik berteriak soal buruknya dunia, POL memilih jalan sunyi: menawarkan kebebasan interpretasi dan misteri. Semacam meditasi estetis ketika hidup di dunia nyata terasa terlalu penuh gangguan.
Fakta bahwa POL dirilis dalam format fisik CD pada zamannya, bukan unduhan digital atau musik streaming kini terasa seperti perlawanan kecil terhadap derasnya konsumsi digital. Sebab menikmati POL dalam kerangka ‘petualangan’ personal yang saya alami, setiap putaran ulang optik CD-nya adalah dejavu antara kebaruan pengalaman saya ‘saat ini’ dengan ingatan saya ‘sebelumnya’ bahwa saya merasa telah mengenal sudut-sudut simfoninya dengan baik. Tapi semakin membentangkan track demi track-nya, semakin tampak bahwa saya belum terlalu mengenalnya.
Dalam POL, selalu ada enigma yang tak terungkap untuk hanya sekali dua kali mendengarkan, sama seperti gerak sirkularnya kehidupan itu sendiri yang misterius; sebuah reinkarnasi dalam filsafat timur, atau perulangan abadi ala Nietzschean sebagai konsekuensi dari amorfati untuk lebih mencintai kehidupan dan melukisi langit di atas tempat kita mengada agar lebih berwarna lagi.
Pada akhirnya, POL bukanlah album yang memberi jawaban. Ia album yang menjaga pertanyaan tetap hidup. Dan di zaman hiperrealitas, ketika batas antara fakta dan simulasi makin mengabur, merawat pertanyaan barangkali satu-satunya cara untuk tetap mengetahui bahwa kita masih manusia.