Sejak suku purba menjiplak telapak tangannya di dinding-dinding gua hingga seniman avatar merangkai kode flash di dinding Facebook-nya, hasrat manusia untuk meniru lingkungan sekitarnya dan realitas dunia yang dialaminya masih esensial diperbincangkan.
Dalam konteks wacana seni kontemporer, hasrat ingin meniru (mimesis) seorang seniman dianggap sebagai proses tiruan realitas yang kemudian direproduksi, dikreasi, dan dihadirkan kembali lewat sebuah karya seni. Di satu sisi, kita bisa dengan mudah memperbincangkan karya seni tersebut cukup dengan menafsir tanda-tanda semiotis yang sekiranya merujuk pada realitas asal yang dianggap maknanya sama.
Sedangkan di sisi lain, hasrat mimesis ternyata tak hanya meniru dan menghadirkan kembali tiruan dari realitas (arkhe), tapi secara bersamaan menyingkirkannya lewat kehadiran identitas lain yang berbeda dengan identitas arkhe itu sendiri. Proses kehadiran–ketakhadiran ini kemudian saling tarik menarik seiring terbentuknya identitas yang serupa bayang-bayang, bukan hanya karena ketakorisinalan dan paradoksnya, juga sebagai proses yang berlangsung terus menerus melalui re-kreasi yang terjadi berulang kali, baik dalam diri sang seniman, maupun audiens yang menikmatinya.
Ambiguitas dua sisi inilah yang saya temui pada album Painting of Life (POL) debut album band post-rock asal Bandung, Under the Big Bright Yellow Sun (UTBBYS) yang rilis pada 2011 silam.
Berisi 7 lagu nir-vokal, POL sejatinya dibangun dari tumpukan layer ebow, glockenspiel, dalam balutan 3 twinkle guitar yang saling tambal-sulam. Tema ‘Painting of Life’ sendiri agaknya dipetik dari pelbagai khazanah sederhana keseharian pengalaman para personilnya yang dimetaforkan sebagai lukisan kehidupan.
Menyibak Ambiguitas
Hal pertama yang patut dicatat dari ambiguitas POL adalah seluruh lagu ditulis tanpa lirik tekstual. Ketiadaan lirik yang –alih-alih menyulitkan perbincangan– menjadi pondasi semiotis demi mereka-ulang ambiguitas tersebut. Judul, urutan lagu, ketukan tempo, tools yang digunakan, serta aransemen tiap track mau tak mau jadi wahana analisis saya yang boleh jadi arbiter dan bias.
Dibuka dengan tempo adantino, petikan intro track Breath Symphony yang dreamy nan classical menyiratkan hasrat mimesis tentang sebuah awal kelahiran dunia lewat ‘nafas pertama’ yang membangunkan.
Circus Travelling Show jadi track kedua yang membuat struktur penandaan PoL makin menarik disibak. Sang ‘jabang bayi’ yang lahir dan mulai bernafas di track pertama, kini tumbuh melewati masa kanak-kanaknya. Ini tersirat dari melodi yang jenaka ditingkahi beat aransemen berpola Quite/Loud seperti mengajak bermain-main bak sebuah keriangan pentas sirkus keliling yang entah apa dan berakhir tiba-tiba begitu saja.
Atmosfer kontemplatif baru dibuka di track ketiga, Golden Day (Finally Found) yang jadi nomor dengan durasi terpanjang di album ini. Pemilihan judul lagu yang diaransemen ulang dari versi lamanya ini cukup koheren dengan nama ‘Under The Big Bright Yellow Sun’ sebagai identitas khas di mana ‘Golden’ berkolerasi dengan ‘Yellow’ dan ‘Day’ adalah reperesentasinya dengan ‘Sun’. Di track ‘daur ulang’ inilah UTBBYS berupaya menegaskan identifikasi PoL dalam pencarian jati diri bak sesosok remaja puber yang finaly found.
Alur selanjutnya seperti bisa ditebak. Track keempat – kelima; Robotics dan Happiness Between Us adalah simbol kedewasaan dengan problem kehidupan saat mulai berhadapan dengan sistem masyarakat serta hubungan antar manusia yang mencerahkan.
Yang unik, pada track keenam berjudul Time Is Near, Komeng (lead guitar) dalam salah satu sesi wawancara pribadi yang saya lakukan di Bandung bercerita bahwa ia terinspirasi dari salah satu surah Al Qur’an terdiri dari 3 ayat tentang waktu/masa yang berbunyi “bahwa sesungguhnya semua manusia itu berada dalam keadaan merugi kecuali dia termasuk mereka yang selalu beramal saleh, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.”
Dari kandungan ayat tesebut saya menangkap ada semacam upaya spiritual untuk menghadirkan kembali relasi vertikal sekaligus horizontal lewat sebuah khutbah dalam bentuknya yang samar-samar terdistorsi oleh 6 menit lebih ebow sebagai background dan glockenspiel susul menyusul lantas meninggi di akhir track. Di sinilah simbol kedewasaan berhasil dimatangkan secara spiritual.
Threshold lantas jadi track paling kuat di album ini yang menampakkan eksplorasi masing-masing departemen sound agar tak hanya hendak mengakhiri petualangan POL dengan baik, matang dan aman, tapi juga tumpah demi memenuhi lipatan-lipatan melodi di ujung batas penghabisannya, meninggalkan kesan lekat dengan makna threshold itu sendiri yang sepertinya memang sengaja ditempatkan di akhir album sebagai penghujung namun bukan akhir; momen ketika sosok yang semakin menua itu menghadapi ajal, ialah ambang dari sebuah awal baru yang menjalani takdirnya sebagai stimulus penitian ulang dimulai dari track pertama lagi dan begitu seterusnya.
Menjaring Hiperrealitas
Sekali lagi, bangunan identitas dari pemaknaan di atas memang belum dan mustahil bisa mapan dilekatkan pada keseluruhan penandaan yang tersaji dalam POL. Terlebih lagi bila menyimak bahwa konsep awal POL sendiri tak hanya diniatkan sebagai karya murni sebuah album musik; Ia ternyata sejak awal sengaja juga diniatkan sebagai transkreasi masing-masing track berupa artwork visual yang digarap sejumlah seniman lukis dan ilustrator kota Bandung sebagai respon dari mendengarkan POL. antara lain Irwan Bagja Dermawan (Iwenk), Mufti Priyanka (Amenk), Gigin Ginanjar, Koko Trie, dan Ricky Arief Rahman.
Kepada saya, Komeng menjelaskan bahwa proses kreatif POL dimulai dari sharing sesama personil band tentang pengalaman masing-masing yang kemudian menghasilkan komposisi lagu, untuk kemudian dikurasi dan direkam. Hasil awal masing-masing track kemudian diserahkan ke para pelukis tersebut untuk dibuatkan visualnya sebagai respon dari mendengarkan track yang mereka terima tersebut.
Puncak dari proses kreatif POL, adalah happening art di mana UTBBYS bakal tampil live memainkan ketujuh track album ini di sebuah kolong jembatan pusat kota Bandung, dan pada saat yang sama kelima pelukis tadi akan beraksi menerjemahkan masing-masing track yang dimainkan dalam bahasa visual di dinding-dinding kolong jembatan tersebut secara real time di hadapan penontonnya.
Cukup disayangkan memang, pertunjukan audio-visual sekaligus peluncuran album POL ini batal dilaksanakan. Sedangkan pada awal kemunculannya, desas-desus rilisan album band post-rock yang disegani di Bandung ini sudah kadung menyebar. POL sendiri dirilis tanpa record label, suatu upaya pretensius dan kian penting di tengah menjamurnya rilisan bergenre sama yang digarap dengan serius kala itu.
Yang jelas, transkreasi audio ke dalam bentuk visual ini kemudian tampil bersisi-sisian pada sleeve album POL. Upaya inilah yang saya tangkap cukup sukses mengganggu kestabilan makna dan identitas PoL itu sendiri sejak awal.
Proses mimesis UTBBYS yang pada mulanya ingin menghadirkan arkhe berbagai khazanah dalam realitas keseharian hidup yang dialami personilnya, pada gilirannya tumpang tindih dengan proses mimesis para seniman lukis tadi dalam menerjemahkan bahasa audio ke dalam visual, sebagai penafsiran ulang atas tiruan arkhe yang membayangi masing-masing track tersebut; yakni tiruan atas tiruan realitas; sebuah hiperrealitas tulen.
Dengan cerdas pula, Gigin Ginanjar mampu merespon PoL lewat beragam penandaan lukisan kanvasnya yang kemudian menjadi sleeve cover PoL; topeng mata rubah, tetesan darah, langit dan awan, barisan padi dan pulau terbang surealis ala Dali yang kesemuanya seakan tengah ditangkap dalam bidikan empat siku merah dan 14 deretan bilangan misterius. Tak pelak, term ‘painting of life’ sebagai tiruan realitas tersebut mendapatkan bentuk audio-visualnya yang paling subtil dan tak konvensional.
Membangun World View
Setelah mimesis disibak dan hiperrealitas itu dijaring, lantas di mana kita bisa tempatkan POL di tengah-tengah audiens masyarakat Indonesia hari ini yang sedang bangkrut secara moral, ekonomi, dan politiknya? Terlebih bila kita sandingkan dengan karya musisi sejamannya yang kurang lebih punya metode dan proses kreatif yang sama.
Dalam rangka inilah POL sebagai produk seni kontemporer, tak pernah mengambil posisi tegasnya. Bahkan kesimpangsiuran juga terjadi saat POL hendak kita kategorikan apakah ia sebuah album musik band post-rock, eksperimen transkreasi karya lintas bahasa, atau sebagai happening art kolaborasi musisi dan seniman lukis yang gagal dilaksanakan.
Bahkan untuk dikategorikan sebagai karya yang lahir dari band bergenre post-rock sekalipun, POL membuat UTBBYS jauh melampaui cerminan generasi galau dan lost seperti asumsi kebanyakan orang tentang nuansa post-rock yang muram.
Alih-alih jadi album yang sibuk teriak dan melulu protes soal sosial politik, POL justru menawarkan kebebasan interpretasi dan permainan multi tafsir lewat penggunaan tanda-tanda secara tak konvensional –baik secara musikalitas maupun secara visual– dan pengetengahan tema yang lepas (kalau tak mau disebut membelakangi) dari kondisi sosial budaya Indonesia mutakhir.
Sekilas, posisi ini cukup relevan dengan tesis Richard Harland seperti dikutip Yasraf Amir Piliang tentang estetika antisosial yang memang tak pernah menolak konvensi dan makna-makna ideologis, akan tetapi menyusup ke dalam sistemnya dalam rangka mensubversi kehidupan dan mendekonstruksi realitas. “… ia dipadukan, dikawinsilangkan, dijajarkan secara kontradiktif, sehingga menghasilkan kategori-kategori tanda yang baru, identitas-identitas baru, yang tidak saja bersifat hibrid tetapi juga antagonis” (Dunia Yang Dilipat, h. 460).
Tesis Harland membawa saya pada kesimpulan sementara bahwa POL merupakan manifestasi laten dari sebuah world view khas yang seakan mengajak audiensnya untuk merekreasi ulang dunia baru secara personal dan intimate daripada mengorganisir massa agar terbangun dari keajekannya menyikapi rusaknya dunia eksistensial yang kita tinggali sekarang.
Bukan suatu kebetulan bahwa album POL dirilis dalam bentuk CD fisik, tidak dalam format file digital yang bebas unduh ataupun live streaming saat itu. Sebab menikmati POL dalam kerangka ‘petualangan’ personal yang saya alami, setiap putaran ulang optik CD-nya adalah dejavu antara kebaruan pengalaman saya ‘saat ini’ dengan ingatan saya ‘sebelumnya’ bahwa saya merasa telah mengenal sudut-sudut simfoninya dengan baik. Tapi semakin membentangkan track demi track-nya, semakin tampak bahwa saya belum terlalu mengenalnya.
Dalam POL, selalu ada enigma yang tak terungkap untuk hanya sekali dua kali mendengarkan, sama seperti gerak sirkularnya kehidupan itu sendiri yang misterius; sebuah reinkarnasi dalam filsafat timur, atau perulangan abadi ala Nietzschean sebagai konsekuensi dari amorfati untuk lebih mencintai kehidupan dan melukisi langit di atas tempat kita mengada agar lebih berwarna lagi.