Denpasastra.net
Resensi

Based on a True Story: Biografi Pure Saturday Setelah 19 Tahun

Menyimak peta sejarah musik dalam negeri, kita bisa dengan mudah memang menyebut sejumlah nama grup musik yang masih hidup dan bertahan puluhan tahun sampai hari ini. Beberapa masih bisa kita lihat aksi panggungnya, beberapa lainnya kian redup seperti menyisakan nama band dan para personilnya yang mulai sibuk dengan kegiatan dan projectnya masing-masing tanpa ada kata resmi yang menyatakan bubar. Kalaupun ada yang masih berkarya sampai sekarang, kebanyakan diantaranya gagal beradaptasi dengan pattern musik dan selera zaman yang terus berubah.

Pure Saturday (PS), grup musik asal Bandung adalah salah satu diantara band pionir di skena musik indie pop tanah air yang tahun depan genap menyentuh usia 20 tahun. Corak musik dan pola distribusi karya albumnya sendiri sejak awal kemunculannya pada medio 90-an sudah dianggap anomali, segar dan menawarkan kebaruan di saat scene masih didominasi oleh metal, kultur epigon, dan tricky-nya pola bisnis major label. Wajar bila kemudian PS tak hanya menjadi inspirasi generasi berikutnya membentuk band dengan semangat kemandirian yang sama, tapi seiring perjalanan karirnya juga mampu menelurkan album-album yang patut dicatat dan mendapat tempat bagi publik pendengar PS kemarin, hari ini dan generasi selanjutnya.

Fase ini terungkap dalam buku Pure Saturday, Based on a True Story karangan Idhar Resmadi (2013, u&kl; Books). Buku yang sejatinya ditulis sebagai biografi, mengungkap beberapa fakta penting awal mula terbentuknya band, proses kreatif, rekaman sejumlah aksi panggung, hingga momen-momen kesuksesan itu datang serta jatuh bangunnya band karena konfilk internal dan pergantian personil.

Ditulis dengan narasi yang ekspositorik dari sudut pandang orang ketiga, buku setebal 230 halaman ini memadukan studi pustaka sejumlah referensi tertulis yang kebanyakan dimuat di media massa dan buku, wawancara personil band dan pihak yang selama ini berada di balik layar, kesaksian kawan-kawan dekat dan sesama musisi, sambil sesekali pembaca dibawa ke dalam alam pikiran dan perenungan tokoh-tokohnya.

Baca Juga  Re-Visiting The Brandals Album Pertama

Sepanjang pembacaan saya, setidaknya ada 3 tokoh utama yang jadi pusat narasi PS di 8 bab buku ini, yakni Ade Purnama (Bass), Satria ‘Iyo’ Nurbambang (Vokalis) dan Muhammad Suar Nasution (ex-Vokalis). Porsi narasi Suar banyak digunakan terutama untuk mengungkap bagaimana band ini awalnya terbentuk dari kegiatan iseng pengisi waktu dan relasi persahabatan yang terbentuk diantara sesama personilnya. Kisah proses kreatif band di Gudang Cokelat juga digarap dengan apik, yakni sebuah gudang bersejarah bekas pabrik gitar milik ayah Suar di Jl, Moch. Ramdan, Bandung yang disulap jadi studio dadakan berlapis seng tanpa peredam suara.

Ade sendiri dimunculkan sebagai aktor yang bertanggung jawab di balik penulisan prosa (bersama Suar), untuk kemudian dipenggal menjadi lirik lagu dan diracik bersama seluruh personil menjadi satu aransemen utuh. Ade juga banyak menjadi sumber kutipan yang melengkapi narasi penceritaan seputar manajemen, profesionalitas band dan dilema antara meneruskan band atau menyelesaikan kuliah yang dialami hampir seluruh personil –yang kelak ketika mereka telah lulus kuliah dan menjelma jadi pekerja kantoran, dilema itu berlanjut antara meneruskan band atau memilih fokus bekerja yang lebih memberi jaminan kepastian di masa depan.

Narasi menarik ditulis dengan sangat baik antara lain seputar konflik yang dihadapi Iyo sejak awal persinggungannya dengan band yang tidak terlalu baik saat mencibir PS pada rapat bazaar atau pentas seni di sekolahnya (hal 44 – 46), pertemanannya dengan Aditya ‘Adhi’ Ardinugraha (gitar) di ITB yang lantas membentuk project The Jonis bersama Suar, David Tarigan dan Yudistira ‘Udhi’ Ardinugraha (drum) saudara kembar Adhi (hal 105) semasa vakumnya PS, dan kegigihan Iyo menyemangati agar Adhi, Udhi dan Suar membangunkan kembali PS dari tidur panjangnya (hal 111).

Baca Juga  Hari-Hari Terakhir Peterpan

Narasi Iyo dan Suar juga memenuhi sepanjang bab pertengahan hingga terakhir, terutama ketika penceritaan mulai berfokus pada kebiasaan dan pembawaan Iyo yang tidak mudah diterima sebagai vokalis pengganti (dan sempat dipecat dari manajemen band untuk kemudian Iyo diminta lagi menjadi vokalis pengganti), sementara Suar seperti menjadi hantu bagi band dan sempat tampil duet bersama Iyo di beberapa panggung PS, meninggalkan publik pendengar saat itu dalam pertanyaan besar, siapa vokalis PS berikutnya? Kembali diisi Suar atau siapa?

Dengan menggali alam pikiran serta perasaan dilematis yang muncul dari berbagai tekanan situasi, buku ini berhasil menampilan sisi humanis Iyo dan Suar betapa segala keputusan yang diambil kedua tokoh utama ini demi kelangsungan band tak semudah yang dicibir dan dirumorkan publik pendengar saat itu. Tanpa perlu terjebak dalam justifikasi bagi tokoh tertentu, buku ini juga membawa kita pada pemahaman betapa persahabatan, idealisme, dan loyalitas menjadi kata kunci penting dalam memahami perjalanan karir PS di ranah musik independen.

Yang juga patut disimak, kemunculan awal PS sebagai gejala ‘perlawanan pada industri musik’ tak lepas dari peran wacana yang beredar di berbagai media massa saat itu. Hai, Kompas, Suara Pembaruan, dan wawancara radio Prambors dengan rapih menjadi klipping pendukung buku ini. Denny MR, Bre Redana, David Tarigan, Harlan Bin, Arian 13 jadi narasumber kompeten yang dikutip dengan jitu dan terang menggambarkan bagaimana konteks yang tengah berlaku saat itu.

Lagipula, tema lagu PS yang ngena secara sosial politik dan budaya keseharian dalam balutan musik khas dan cenderung lebih maju dari musisi papan atas kebanggaan label rekaman arus utama, sejalan dengan zeitgeist generasi era 90-an dan milenium yang memimpikan perubahan selama masa transisi Orba ke Reformasi hingga hari ini.

Baca Juga  Mendebat Kandungan Nutrisi 'Candu Baru'

Karenanya, kalaupun ada celah dalam buku ini, hemat saya tak lain adalah porsi publik pendengar PS itu sendiri di buku ini yang menjadi missing link dan membuat kontekstualitas cerita yang dibangun sejak awal menjadi begitu komikal.

Padahal –meski demografi penggemarnya tersebar di berbagai kalangan penikmat musik– nama kolektif Pure People (PP) sudah kadung melekat sebagai puncak interaksi sesama pendengar setia PS, istilah bagi para die-hard listener yang muncul pertama kali sebagai inisiasi spontan publik pendengar PS (dan cenderung tanpa bentuk formal) khususnya di Bandung, Jakarta dan sekitarnya lewat event tribute Pure Saturday Night pada bulan Agustus 2006 di Jakarta, tepat setahun sebelum PS merilis album retrospektif-nya Time For a Change, Time to Move On (2007, Lil’Fish Records) berisi rekaman ulang lagu-lagu lama dan 2 lagu baru (hal 144).

Istilah Pure People sendiri kini telah digunakan secara luas, bukan lagi sebagai kelompok tertentu atau sekedar fans yang fetish pada atribut artifisial idolanya, tapi juga sebagai identitas unik nan anonim yang mencerminkan laku, watak dan falsafah tertentu yang didapat dari hasil resapan estetik publik pendengar pada umumnya yang tumbuh dan besar bersama karya-karya PS sepanjang 19 tahun ke belakang.

Posisi unik inilah yang menurut saya cukup penting untuk digali secara terpisah daripada sekedar menjadikannya sebagai background kisah kesuksesan band. Bukan bermaksud mengada-ada, asumsi saya sederhana saja: sebuah band besar tanpa publik pendengar yang loyal, ibarat ara tanpa getah.

Dan dalam buku yang digadang-gadang sebagai based on a true story ini, sudah semestinya keduanya layak dapat tempat yang sejajar.

Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi