Denpasastra.net
EsaiTajuk Rencana

Perayaan Kecil Setengah Tahun Denpasastra

Pertengahan September kemarin, blog ini berusia setengah tahun. Usia yang masih seumur jagung, tapi bukan waktu yang singkat juga untuk sebuah proyek iseng.

Namanya saja portmanteau dari dua kata: Denpasar (kota tempat saya merantau sejak tahun lalu) dan sastra (dunia literasi yang sudah saya geluti sejak kuliah). Dua kata itu kemudian dilesap jadi satu: Denpasastra.

Kurang praktis di lidah memang. Banyak yang kecele menyebutnya Denpasar Sastra. Agak repot, ya. Tapi saya cuek dan gas saja, haha.

Maka terjadilah: Denpasastra dibuat dalam sekali jalan, tanpa rencana besar. Hanya dorongan-dorongan kecil untuk menulis, merekam, dan merapikan catatan pribadi atas hal-hal yang saya temui dari keriaan budaya di kota Denpasar dan sekitarnya.

Sejak ide ini pertama kali digagas sebagai proyek personal dan blognya mulai bisa diakses publik pada 11 Maret 2025, ada sekitar 80an naskah telah tayang, merentang dari naskah berita lempang (straight news), reportase event, artikel opini, resensi karya musik dan sastra, sampai esai personal. Dari teriakan Kurt Cobain sampai petikan blues Made Mawut. Dari Tan Lioe Ie sampai Pranita Dewi.

Mungkin karena digarap tanpa beban juga, saya merasa baru kali ini bisa mengeksplor lagi dan mempraktikkan kaidah-kaidah berbagai bentuk naskah jurnalistik secara lengkap, utuh dan sesuai pakem. Semua bermodalkan pelajaran-pelajaran yang saya minati semasa kuliah dulu dan pengalaman pribadi di dunia jurnalistik bertahun-tahun silam.

Dan sepanjang setengah tahun ke belakang, Denpasastra telah dikunjungi oleh pembaca dari lebih dari sepuluh kota di Indonesia, dengan Bali, Jakarta, dan Yogyakarta menjadi tiga titik paling aktif dengan ribuan impresi dan ratusan klik organik.

Sebagian besar pembaca datang lewat situs mesin pencari dan kunjungan langsung yang boleh jadi tumbuh dari jaringan pertemanan, dari tautan yang dikirim lewat pesan pribadi, dan mungkin dari rasa ingin tahu orang-orang yang ingin menemukan sesuatu di luar arus utama. Di media sosial, sekitar 95% pengunjung berasal dari non-followers lewat pencarian alami dan rekomendasi antar user.

Baca Juga  Merayakan Rindu 50 Tahun Kemudian: Revisiting Wish You Were Here – Pink Floyd (1975 - 2025)

Apapun itu, segala yang berbau angka dan algoritma kadang sering menipu diri kita sendiri. Di titik ini saya juga sadar: Denpasastra belum melakukan apa-apa yang benar-benar berarti. Sebagian besar tulisannya masih berputar di lingkar kenyamanan, bermain aman di wilayah pemberitaan dan reportase acara, belum berani menggaruk luka yang lebih dalam.

Kadang malah saya merasa Denpasastra terlalu sopan. Terlalu takut menyinggung, terlalu rapi menyusun kalimat agar tidak mengusik siapa pun. Saya berpikir, sebagai ruang yang menulis tentang budaya, seharusnya Denpasastra lebih berani menggoyang wacana, bukan hanya mencatatnya.

Tapi entah karena kesibukan kantor, rasa malas, atau mungkin karena keragu-raguan untuk diterima publik, saya sering memilih untuk diam.

Dan tentu saja, ada tulisan-tulisan yang batal tayang mulai dari isu sponsorship Freeport di sebuah festival musik, esai tanggapan untuk Majalah Kalam, liputan panjang soal saling sengkarut royalti musik, atau resensi album magnum opus-nya Justin Bieber yang sudah siap tayang tapi ditahan karena momentum publik terasa tidak relevan. Semua masih tersimpan di folder yang sama, menunggu keberanian yang belum datang.

Di sisi lain, Denpasastra juga belum berhasil membangun percakapan. Interaksi ada, tapi baru sekedarnya memang. Pembaca visit, membaca, lalu pergi. Mungkin karena tone-nya terlalu editorial, atau mungkin karena saya sendiri belum cukup terbuka untuk mendengarkan banyak suara dari teman-teman.

Padahal media kecil seperti ini mestinya hidup dari dialog, bukan monolog yang terus saya ucapkan kepada diri sendiri.

Dan kalau mau jujur, kadang saya juga khawatir Denpasastra mulai tergelincir ke jebakan yang sama seperti yang dulu sering saya kritik: menjadi etalase gagasan yang indah tapi steril, memotret kebudayaan tanpa benar-benar menyentuh denyutnya.

Saya takut saya menulis tentang ‘kebudayaan Denpasar’ tapi lupa nongkrong di Denpasar. Mengaku menganalisis puisi, tapi masih jarang membaca puisi orang lain. Apalagi waktu setengah tahun itu cukup lama untuk menyadari bahwa idealisme kecil pun bisa tumpul kalau tidak diasah.

Baca Juga  Seni Menjadi Tidak Meledak di Dunia yang Terlalu Mudah Terbakar

Mungkin Denpasastra tidak akan pernah jadi apa-apa, dan itu bukan masalah. Ia bisa saja berhenti besok, tergantikan hal lain, atau lenyap begitu saja seperti media lain yang pernah lahir sebelum ini. Dan saya rasa itu wajar.

Sebab Denpasastra sejak awal tidak dibangun untuk bertahan, tapi untuk mencatat. Mencatat supaya sekurang-kurangnya agar ada jejak bahwa pada satu masa, di satu kota, pernah ada seseorang yang mencoba membaca kebudayaan dengan cara yang pelan.

Dan jika di tengah perjalanan ia berhasil memantik percakapan kecil, mengundang satu dua tanggapan, atau sekadar membuat seseorang berpikir sejenak sebelum menggulir layar, mungkin itu sudah cukup.

Saya tidak ingin memuja proyek ini, karena saya tahu ia pun rapuh: lahir dari waktu luang, dikerjakan di sela jam kantor, dan bergantung sepenuhnya pada semangat yang naik turun. Tapi justru di situlah maknanya, bahwa sesuatu yang kecil, tidak konsisten, dan penuh ragu pun bisa jadi bentuk kejujuran saya kepada pembaca bahwa blog ini bisa berhenti kapan saja.

Setengah tahun bukan pencapaian, tapi pengingat ketika saya melihat wajah diri sendiri di kaca: bahwa kerja kebudayaan, sekecil apa pun, selalu dimulai dari kesadaran untuk menulis meski tahu tak ada yang menunggu bacaan itu. Mungkin itu saja yang masih ingin saya pertahankan. Menulis dengan sadar, berjalan pelan, dan membiarkan blog ini tetap menjadi ruang yang tidak tahu pasti mau jadi apa.

Sebagai penutup di kesempatan perayaan kecil ini, saya mau mengucapkan terima kasih banyak kepada pembaca yang sudah bertahan sampai sejauh paragraf akhir ini. Barangkali memang setengah tahun ini tak ada yang perlu dirayakan bagaimana-bagaimana. Cukup bertahan sejauh ini saja sudah bentuk kecil dari perayaan itu sendiri.

Matur Suksma.

Baca Juga

Mendaras Ulang ‘Hail to The Thief’ – Radiohead di 2025: Panggilan Terbuka Untuk Para Maling

Preman Laut

Pernyataan Thom Yorke Soal Gaza: Dari Cancel Culture Sampai Harapan Kemanusiaan

Preman Laut

Tanah Bali Itu Spiritual, Jalan Raya-nya Agnostik

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi