Denpasastra.net
Krddit Ilustrasi oleh Preman Laut
Kolom Minggu

'Kerumitan Sastra' - Edisi 4

Menengok Batin Para Pengarang

Milan Kundera: Terjemahan yang Menciptakan Liyan

Di sebuah perpustakaan tua di Praha, Milan Kundera duduk di ruang baca yang remang-remang, ditemani secangkir kopi dan buku hasil karyanya sendiri, The Unbearable Lightness of Being, yang kini ada dalam genggamannya dalam bentuk yang paling asing: terjemahan Bahasa Indonesia. Edisi ini telah melewati perjalanan panjang. Novel itu dia tulis dalam bahasa Prancis pada awal 1980-an, lalu diterjemahkan ke Inggris, lalu ke Bahasa Indonesia, bahasa yang tak dia kuasai, tetapi ingin dipahaminya.

Anehnya, Kundera tidak membaca buku itu dengan bantuan penerjemah atau catatan editor. Demi memahami sepenuhnya perjalanan yang telah dialami kata-katanya, ia melakukan sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan: ia mempelajari Bahasa Indonesia. Untungnya sebagai seorang poliglot, hanya dalam beberapa bulan saja ia mampu menguasai bahasa ini. Dia menekuni bahasa itu dengan antusiasme seorang filsuf yang ingin membuka tabir atas lapisan makna tersembunyi, mengejar kemungkinan- kemungkinan baru yang bisa saja telah ditemui atau diciptakan oleh penerjemahnya.

Mempelajari Bahasa Indonesia telah menjadi pengalaman yang menyegarkan, bahkan membingungkan. Bahasa itu begitu berbeda dari Ceko dan bahasa-bahasa Eropa lainnya yang dia kuasai, dengan tata bahasa yang sederhana namun sarat dengan lapisan kultural yang tak terduga. Bahasa ini bercorak egaliter, tidak memiliki gender, dan tidak memiliki tenses. Strukturnya sederhana, tapi akibat kesederhanaannya akan cukup menyulitkan orang-orang Eropa yang sudah terbiasa dengan bahasa feodal dan patriarkis.

Selama proses belajar, Kundera merenungkan setiap kata yang ia pelajari seolah-olah tengah menemukan makna-makna baru dari kata-katanya sendiri. Terjemahan bukan hanya memuat kata, tetapi seluruh dunia yang berbeda di dalamnya. Dan kini ia ingin tahu, dunia seperti apa yang terbentuk dari karya tulisnya dalam bahasa ini.

Setelah Kundera merasa cukup percaya diri, di sore yang sepi di perpustakaan, dia membuka halaman pertama, sebuah refleksi tentang gagasan Nietzsche eternal return. Nada filosofis itu tetap utuh, meski terasa sedikit lebih lembut, seperti batu yang dibulatkan air tropis. Namun Kundera merasakan sesuatu yang berubah: ritme. Bahasa Indonesia yang tanpa gender, tanpa konjugasi waktu, tanpa hirarki feodal, membuat paragraf itu terdengar lebih bening dan netral. Bagi Kundera, pembukaan bukunya kini terdengar seperti seseorang yang bermeditasi di tepi sungai, bukan filsuf yang sedang menantang dunia.

Ia menutup mata sebentar. “Menarik,” gumamnya.

Ia tersenyum, menyadari permainan yang dilakukan penerjemah. Dalam Bahasa Indonesia, ada kebiasaan memperkaya makna dengan penafsiran simbolik, yang seolah-olah ingin membungkus pengalaman hidup dalam kerangka spiritual. Kundera bertanya-tanya, apakah penerjemahnya sengaja menambahkan nuansa religius ini, ataukah mungkin si penerjemah telah menyempurnakan maknanya tanpa sadar.

Sambil terus membaca, Kundera mulai menyadari bahwa karakternya, Tomas, telah berubah menjadi lebih heroik dan independen daripada versi aslinya. Tomas dalam Bahasa Indonesia adalah seorang pemberontak yang berani melawan arus, jauh dari bayangan Kundera tentang pria penuh keraguan yang enggan mengambil sikap. Dia adalah seorang penjelajah yang mendobrak batas moral dan eksistensial tanpa rasa ragu sedikit pun.

“Apakah ini yang kurasakan dalam setiap karyaku? Bahwa semua karakternya seolah tak benar-benar menginginkan kebebasan?” Kundera bergumam pada dirinya sendiri, merasa seolah-olah disadarkan oleh interpretasi baru ini.

Bahkan Sabina—karakter wanita yang pada dasarnya melarikan diri dari segala sesuatu yang menghantuinya—menjadi seorang pemberani yang tanpa kenal lelah mencari kebebasan. Kundera tertawa kecil, lalu berbisik dalam bahasa Ceko, “Luar biasa! Sabina yang kukenal adalah seorang pelarian, tapi di sini, ia menjadi seorang pahlawan.”

Namun, semakin jauh ia membaca, Kundera menyadari adanya kesalahan kecil yang menjadi semakin jelas. Di bab-bab pertengahan, ide tentang eternal return Nietzsche tiba-tiba menjadi ambigu. Dalam versi ini, eternal return dianggap sebagai “kembalinya cinta lama,” suatu konsep sentimental yang terlampau ringan dibandingkan dengan kompleksitas Nietzsche. Bagi Kundera, hal ini cukup menggelikan, namun juga membuatnya berpikir ulang. Ia membaca ulang frasa itu, berpikir mungkin dalam salah tafsir ini justru tersembunyi kebenaran yang tak pernah terpikirkan.

Mungkin, eternal return yang diinterpretasikan sebagai “kembalinya cinta lama” menyingkap sisi baru dari gagasan kembalinya yang kekal. Mungkinkah kehidupan adalah soal kesempatan untuk merasakan kembali cinta yang pernah hilang? Bagi Kundera, interpretasi ini adalah momen refleksi yang menakjubkan.

Di halaman-halaman terakhir, Kundera mendapati bahwa akhir cerita pun telah berubah. Dalam bahasa aslinya, hubungan antara Tomas dan Tereza berakhir dengan tragis, penuh beban, dan hampir mustahil untuk diterima. Namun di versi Bahasa Indonesia, kisah itu berakhir damai. Dalam bahasa ini, mereka berpisah dengan saling memahami; Tomas dan Tereza menemukan makna hidupnya masing-masing, lalu berpisah dengan kesadaran yang penuh akan apa yang telah mereka lalui.

Kundera merasa begitu asing, dia bukan lagi penulis kisah ini. Namun di sisi lain, ia merasa versi Bahasa Indonesia ini memunculkan ketulusan yang baru, lebih damai. Ia tersenyum, memahami bahwa setiap bahasa memiliki karakter, dan Bahasa Indonesia telah membawa ceritanya ke ranah yang tak terduga: sebuah dunia di mana tragedi dapat berdampingan dengan ketenangan, dan keringanan bukanlah penderitaan, melainkan kebebasan yang tenang.

Kundera merenung, menyadari bahwa dia memiliki dua pilihan untuk menanggapi hasil ini: Pertama, dia bisa berkata pada dirinya sendiri, “Nah, itu yang kumaksud!” seolah-olah penerjemah Bahasa Indonesia telah menggali makna tersembunyi yang dia sendiri tak pernah benar-benar ungkapkan dengan sadar. Atau, dia bisa tersenyum, mengagumi hasil kerja penerjemahnya, dan bergumam, “Dapat ide dari mana Si Bangsat ini!

Jorge Luis Borges: Cerita Tentang The Aleph

Di sebuah ruangan yang sepi di Buenos Aires, dikelilingi rak buku yang membeludak dengan pustaka dari abad ke-19 dan 20, Jorge Luis Borges duduk termenung. Kala itu, suara pelan jam dinding terdengar mengisi kesunyian ruangan. Cahaya lampu meja yang redup memantul pada kaca tebal di depan mata Borges; tatapan yang, meski penglihatannya kian meredup, tetap menembus kedalaman batin dan ide-ide tanpa batas; kebutaannya datang perlahan, sebuah senja yang lambat, baru ia akui sebagai kehilangan menyeluruh bertahun kemudian.

Borges tahu dia telah menulis banyak kisah tentang labirin, takdir, dan waktu yang berulang. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya. Dia menginginkan sesuatu yang lebih besar, yang merangkum seluruh pengetahuan dalam satu gagasan tunggal—sebuah hal yang melampaui batas realitas, membentang ke inti dari segala yang ada. Dalam semacam kebetulan metafisik yang hanya bisa dijelaskan Borges sendiri, ide itu datang malam itu: konsep sebuah titik, bukan sembarang titik, ruang kecil yang infinit, mengandung seluruh jagat raya dalam skala yang tak terukur. Ia memilih menamainya Aleph, huruf pertama Ibrani—sebuah awal yang memuat segala awal lain.

Borges memejamkan mata, berusaha membayangkan titik itu. Bukan dalam bentuk atau warna, melainkan dalam esensi: sebuah kehadiran yang, dalam satu kedipan, memperlihatkan alam semesta—masa lalu, masa kini, masa depan—dalam satu detik yang tanpa akhir, datang tiba-tiba, sejelas rindu yang mendadak.

Malam itu, Borges mengambil pena dan mulai menulis. Tangan yang biasanya ragu, malam itu bergerak cepat. Ia menulis tentang Carlos Argentino Daneri, seorang penyair ambisius—bombastis, cerewet, dan berhasrat pada keabadian karyanya. Di dalam cerita, Daneri bersaudara sepupu dengan Beatriz Viterbo, cinta lama sang narator; tiap 30 April, ulang tahun Beatriz, sang narator berkunjung ke rumah keluarga Viterbo di Jalan Garay.

Daneri mengklaim telah menemukan Aleph di ruang bawah tanah, tepat di bawah ruang makan rumah di Garay. Narator, yang adalah bayang-bayang Borges, awalnya sinis namun penasaran. Dia turun ke ruang bawah tanah, berbaring sesuai instruksi, menatap ke bawah anak tangga ke-sembilan belas, dan melihatnya.

Di sana bukan sekadar “titik,” melainkan sebuah bola kecil berpendar, kira-kira dua atau tiga sentimeter, nyala yang hampir tak tertahankan; pada mulanya tampak berputar, lalu dia sadar putaran itu ilusi dari tontonan yang memusingkan di dalamnya. Ruang universal hadir di dalamnya tanpa pengecilan; tiap benda (selembar kaca cermin, katakanlah) adalah tak terbilang benda, karena ia dapat melihatnya dari setiap sudut pandang kosmos sekaligus.

Dalam Aleph, dia melihat dirinya sendiri bukan sekadar manusia, melainkan kumpulan pengalaman, kenangan, dan kata-kata—setiap buku yang pernah dibaca, setiap percakapan yang pernah didengar; gunung-gunung, lautan, kota-kota yang diimpikannya namun tak pernah disinggahi. Namun kejernihan itu sekaligus hampa: bahasa selalu tiba sesaat setelah keajaiban. Dia mendapati paradoks yang sejak dulu dihampirinya, ketidakmungkinan melukiskan yang tak terkatakan dengan kata-kata, dan justru paradoks itulah yang mendorongnya terus menulis.

Dia sadar, tiap kali mencoba menggambarkan Aleph, dia terasa kian jauh darinya seperti menggenggam air yang lolos dari sela jari. “Aleph adalah awal, tetapi juga akhir,” gumamnya, menatap halaman yang telah penuh kata-kata: deskripsi ruang bawah tanah Daneri; bola kecil bercahaya; seluruh semesta yang bertumpuk dalam satu titik kecil. Dia tahu, meskipun kisah ini fiksi, ada sesuatu dalam dirinya yang berubah, sesuatu yang menghubungkannya dengan yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Kelak, orang akan mengingat bahwa “El Aleph” terbit pertama kali di Sur (September 1945), lalu masuk ke dalam kumpulan El Aleph y otros cuentos (1949), sebuah kapsul yang merangkum obsesinya atas infinitas. Bahkan ia merevisi beberapa cerita pada edisi 1974.

Setelah menulis hingga larut, Borges menutup bukunya; pikirannya masih berputar. Dia merasa dirinya seperti bagian dari cerita itu sendiri seolah hidupnya hanyalah serpih dari Aleph yang diciptakannya. Rak-rak di sekelilingnya tampak seperti miniatur dari realitas yang lebih besar. Ia bertanya, apakah Dante atau Cervantes juga pernah merasakan hal serupa: bahwa karya mereka hanyalah setitik di lautan tak terbatas.

Dia mungkin takkan pernah menjelaskan Aleph dengan sempurna, namun di ketidaksempurnaan itu tersimpan kekuatan. Pekerjaan sastra, baginya, bukan menghabiskan misteri, melainkan menyemainya; bukan menutup pertanyaan, melainkan menyusun labirin agar pembaca menemukan pantulan diri di tiap belokan.

Dan ironi waktu pun berjalan sebagaimana nasib kota: rumah di Garay akhirnya dibongkar; puisi Daneri bahkan meraih pujian dari lembaga sastra nasional (catatan: dalam cerita disebut memenangkan penghargaan resmi, sebuah ironi yang menyindir dunia sastra Argentina), sementara sang narator, bertahun kemudian, mengakui kemungkinan getir: Aleph di Garay barangkali hanyalah “Aleph palsu.” Namun bahkan “palsu” pun telah mengubahnya: cukup untuk menunjukkan, barang sekejap, wajah semesta yang mustahil diringkus.

Ketika memejamkan mata, Borges tahu ia menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada penjelasan: misteri, titik kecil di ruang imajinasi yang abadi. Di titik itulah, El Aleph lahir, dan terus berpendar.

Virginia Woolf: Dua Jam Terakhir

Di balik jendela, hujan turun lembut, memburamkan taman di belakang rumahnya. Virginia duduk diam ditemani gemericik hujan, seolah damai menyapa batinnya yang gelisah. Tangan kirinya memegang secarik kertas dengan tulisan tangannya yang gemetar. Ia membacanya perlahan—surat terakhirnya kepada dunia.

Dua jam ke depan ia melewati keheningan, bersiap menyeberang ke sisi lain hidupnya. Kematian tak lagi menakutkannya; justru ketakutan menghantuinya. Kecemasan menyerang, menjadikan hari-harinya pertempuran tanpa ujung. Ia melirik cermin, melihat bayangan tubuhnya yang rapuh. Senyum tipis tersungging di bibirnya—entah itu sedih atau damai. Hatinya lega. Untuk pertama kali, ia merasa bebas dari belenggu harapan dan kewajiban.

Virginia memejamkan mata, mengarahkan kenangan ke masa lalu. Cinta dan rindu, ketakutan dan kemarahan pernah membakar jiwanya. Leonard, suaminya, muncul di bayangan malam tergelap. Ia tahu Leonard tak lagi bisa membantu — bukan karena kurang cinta, melainkan ada ruang dalam jiwanya yang tak diisi siapapun, ruang yang kini ia lepaskan.

Satu Jam Lima Puluh Menit Menuju Kepastian

Virginia berdiri dekat jendela, menatap hujan semakin deras. Suara hujan itu membawa kenangan ke malam-malam di rumah keluarganya di London, memberikan rasa aman sekaligus kegelisahan. Ia membayangkan orang-orang yang ia cintai, meski kini hanya bayangan.

Ingatannya terbang kembali ke hari-hari awal menulis — dulu kata-kata adalah pelarian dari penilaian orang. Namun menulis juga membuka luka lama, menghadirkan kenangan menyakitkan. Bagi Virginia, menulis adalah pertempuran hidup melawan kekosongan menghantuinya. Saat hening itu, kata-kata terus mengalir deras, seolah masih ada cerita terakhir yang harus ditulis.

Di mejanya, ia mengambil pena dengan tangan gemetar dan mulai menulis. Kata demi kata, perasaan terdalamnya tercurah: ketakutan yang menghantuinya, cinta yang tak pernah ia pahami, kekosongan yang mengintai kebahagiaan. Di atas segalanya, ia menulis tentang kebebasan yang ia harap raih lewat keputusannya.

Satu Jam Tersisa: Memutar Kembali Memori

Ia melipat surat itu dan meletakkannya di meja agar Leonard menemukannya. Surat itu jadi pesan terakhirnya—bukti ia pergi dengan kesadaran penuh. Ia tak ingin Leonard merasa bersalah; suaminya adalah satu-satunya cahaya dalam gelap hatinya.

Hujan reda, Virginia memakai mantel tebal dan berjalan keluar menuju sungai dekat rumah. Di tepi jalan, bunga liar menambah kesan sendu pagi itu. Langkahnya tenang, seolah menuju kedamaian.

Sungai berkilau di bawah sinar redup menembus awan. Airnya tenang, seolah menyambutnya. Virginia merasa tertarik. Tak ada rasa takut—hanya kedamaian yang perlahan menyelimuti hatinya.

Ia berdiri di tepi sungai, menatap arus perlahan. Kenangan muncul seperti potongan film: dirinya sebagai gadis penuh impian, sebagai penulis yang melawan keraguan. Ia juga melihat kesepian terpendam dan kekosongan menghantuinya.

Menutup mata, angin lembut menyentuh wajahnya. Dalam diam ia mengucapkan selamat tinggal pada kehidupannya, mimpi-mimpinya, dan cinta. Akhirnya ia berpamitan pada dirinya sendiri.

Lima Belas Menit Menuju Keabadian

Virginia damai di saat terakhir. Ia seolah menemukan jawaban atas kebingungan, ketakutan, dan kesepian yang membayangi hidupnya. Sungai di depannya menjadi simbol kebebasan yang ia cari — pelarian yang tak pernah ia temukan di tempat lain.

Virginia melangkah tenang memasuki air dingin. Air mengelilingi tubuhnya, memeluknya lembut. Ia menatap langit kelabu untuk terakhir kali, merasakan kedamaian yang dalam.

Di tengah arus tenang, Virginia merasa bebas. Akhirnya ia bisa menjadi diri sendiri sepenuhnya, tanpa harus memikirkan harapan orang lain. Arus sungai membawanya ke kebebasan yang selama ini ia cari.

Alan Moore: Simfoni Yang Patah

Aku tidak pernah percaya pada pahlawan. Pahlawan adalah fiksi manis yang diciptakan untuk menenangkan kita di malam yang penuh kegelapan. Mereka adalah harapan sintetis, puncak dari khayalan manusia yang takut menghadapi realitas dirinya sendiri. Tapi aku percaya pada cerita. Cerita adalah daging dan tulang kita, napas yang menghidupkan peradaban, dan sering kali, tali yang menjerat kita.

Di sinilah aku sekarang, duduk di ruang kerjaku yang kecil, dikelilingi oleh ribuan fragmen cerita. Buku-buku dengan punggung kusut, tinta tumpah di atas meja kayu, dan jendela yang memantulkan bayanganku sendiri. Aku tampak seperti hantu, dengan rambut liar dan janggut yang menjuntai, seperti penyihir dari dunia lain. Tapi aku adalah hantu dengan misi, atau setidaknya itulah yang aku yakini.

Kertas itu tergeletak di meja, sebuah kontrak. Aku tahu isi kontrak itu bahkan tanpa membacanya. Aku tahu mereka ingin aku kembali, ingin aku menyerah, dan yang paling penting, mereka ingin aku patuh. Mereka ingin aku melupakan sejarah, melupakan Watchmen, melupakan luka yang terus menganga di dadaku sejak aku menyadari bahwa aku telah membiarkan salah satu ciptaan terbaikku menjadi milik mereka.

Aku memandangi kontrak itu seperti seorang tentara memandangi medan perang. Ada saat-saat ketika aku berpikir untuk menyerah, menandatanganinya, membiarkan semuanya berlalu. Tapi menyerah tidak pernah menjadi bagian dari rencanaku. Aku telah memilih jalanku—jalan yang penuh duri, tetapi juga satu-satunya jalan yang memungkinkan aku tetap memegang integritasku.

“Aku tidak takut pada mereka,” aku berbisik, meskipun bayangan di sudut ruangan tampak menertawakanku. Tentu, keberanian itu tampak bagus dalam teori. Tetapi dalam praktiknya, ketakutan selalu ada, berdesir di bawah kulit seperti ular kecil yang licin. Ketakutan itu berbisik dengan suara lembut: “Bagaimana jika mereka benar? Bagaimana jika kau hanya seorang lelaki tua dengan ego sebesar alam semesta?”

Ketika aku pertama kali menyerahkan Watchmen kepada DC, aku naif. Aku berpikir kontrak itu adil. Aku berpikir mereka akan menghormati karyaku, bahwa setelah selesai dicetak, hak itu akan kembali padaku. Tetapi seperti biasa, korporasi tidak pernah tahu kapan harus berhenti. Mereka terus mencetaknya, terus menjualnya, bahkan ketika aku memohon mereka untuk berhenti. Bagi mereka, karya itu adalah produk. Bagi mereka, aku hanyalah alat.

Namun, aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. Industri ini dibangun di atas penghisapan. Dari Jerry Siegel dan Joe Shuster yang menjual Superman dengan harga segelas bir, hingga Jack Kirby yang menghidupkan dunia Marvel tetapi meninggal dengan saku kosong. Para kreator adalah sapi perah, dan korporasi adalah pemiliknya yang rakus.

Aku berdiri dari kursiku dan berjalan ke jendela. Kota Northampton terhampar di bawahku, berkabut seperti mimpi buruk yang membeku. Aku selalu merasa tempat ini mencerminkan jiwaku. Sudut-sudutnya yang kelabu, dinding bata yang berlumut, jalan-jalan yang sunyi; semuanya tampak seperti labirin yang memerangkap waktu. Di sini, aku menemukan kedamaian, atau setidaknya, versi kedamaian yang cocok untuk orang sepertiku.

Aku menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya perlahan. Asapnya melingkar seperti bayangan, menari di udara sebelum menghilang. Pikiran-pikiran gelap masih memenuhi kepalaku. Apa yang akan terjadi jika aku menolak mereka? Apakah aku akan dihapus dari sejarah komik? Apakah aku akan menjadi catatan kaki, seperti begitu banyak kreator lainnya?

Tetapi kemudian aku ingat sesuatu yang lebih besar dariku. Aku ingat seorang anak muda di jalan-jalan London, mengenakan topeng Guy Fawkes, berdiri di depan barisan polisi anti huru-hara. Aku ingat bagaimana simbol itu, yang berasal dari cerita yang kutulis, menjadi senjata di tangan mereka yang ingin melawan. Itu adalah bukti bahwa cerita memiliki kekuatan, bahwa kata-kata dapat mengubah dunia.

Aku memadamkan rokokku dan kembali ke meja. Jemariku menyentuh pena, dan aku mulai menulis. Surat penolakanku tidak panjang, tetapi setiap kata di dalamnya adalah peluru. Aku mengatakan pada mereka bahwa aku tidak akan pernah kembali. Aku mengatakan pada mereka bahwa aku tidak akan pernah membiarkan mereka memiliki jiwaku. Dan aku mengatakan pada mereka bahwa aku tidak peduli dengan konsekuensi yang akan datang.

Ketika aku selesai, aku merasa seolah-olah telah melepaskan beban dari pundakku. Tetapi aku tahu pertempuran ini belum selesai. Aku tahu mereka akan terus datang, terus mencoba menghancurkan apa yang aku bangun. Namun, untuk saat ini, aku telah menang. Aku telah berdiri di atas prinsipku, dan itu adalah kemenangan yang tidak bisa mereka ambil dariku.

Aku melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop. Di luar, malam telah tiba, dan kegelapan menyelimuti Northampton. Tetapi di dalam ruang kerjaku, ada cahaya kecil, seperti lilin yang menyala di tengah badai.

Aku tidak percaya pada pahlawan, tetapi aku percaya pada cerita. Karena cerita adalah satu-satunya keabadian yang kita miliki.

Arthur Rimbaud: Manifesto di Bukit Roche

1873.

Roche.
Udara dingin seperti ibu yang tak mau memeluk.

Rimbaud naik bukit.
Tanpa doa.
Tanpa alasan.
Hanya tubuh letih yang dikejar bayang-bayang Paris
Verlaine
darah
peluru
dan cinta yang membusuk lebih cepat dari roti perang.

Ia membuka buku catatan.
Kosong.
Kosong.
Kosong.
Kata-kata kabur seperti pengecut.

“Biarkan saja,” gumamnya.
“Jika puisi ingin mati, biarkan.
Jika aku ingin hilang, lebih baik sekarang.”

Angin menertawakan.
Tidak filosofis.
Tidak lembut.
Angin hanya angin: dingin, kasar, jujur.

Lalu
sebuah suara dari gelap:
“Arthur.”

Pria tua muncul bagai dosa lama:
jubah, mata menyala, langkah rapuh.
Tidak ada mukjizat.
Tidak ada penyelamatan.
Hanya tatapan yang tahu terlalu banyak.

“Kalau kau ingin hilang,” katanya,
“berhenti menulis.”

“Kalau kau ingin abadi,” katanya,
“biarkan hidupmu hancur sampai tak tersisa.”

“Puisi menuntut… darah.
Jiwa.
Nama.
Daging.
Segalanya.”

Rimbaud tertawa pendek.
Tidak lucu.
Tidak pahit.
Lebih mirip napas terakhir yang berubah pikiran.

“Aku sudah kehilangan semuanya.”

“Belum,” jawab pria itu.
“Yang tersisa adalah ketakutanmu.
Dan itu, kayu bakar terbaik bagi seorang penyair.”

Pria itu lenyap.
Tidak ada keajaiban.
Tidak ada langkah pergi.
Gelap menelannya tanpa pamit.

Rimbaud menatap halaman kosong.
Lalu
meledak.

Tinta
kata
umpatan
pengakuan
amputasi diri
semuanya mengalir seperti sungai yang baru patah bendungan.

Ia menulis seperti orang yang membakar jembatan terakhirnya.
Ia menulis seperti orang yang hendak membunuh bayangannya sendiri.
Ia menulis untuk tidak mati
dan untuk mati lebih cepat.

Ketika fajar merayap, ia tahu:
puisi bukan pelarian.
Puisi adalah pisau.
Dan memperpanjang hidup berarti terus mengiris dirinya perlahan.

Beberapa tahun kemudian, ia berhenti menulis seluruhnya
meninggalkan kata-kata seperti bangkai di jalan
dan memilih gurun, pelabuhan, senjata, perdagangan, pelarian.

Tetapi puisi-puisinya tetap hidup.
Lebih hidup dari dirinya.
Lebih percaya diri daripada tubuh yang ia buang.
Lebih abadi daripada keputusan yang menghancurkannya.

Tulis sampai hancur. Lalu hilang. Biarkan kata-kata yang bertahan menggantikan tubuhmu.

Anaïs Nin: Jiwa Yang Haus

Paris, Senja
Cahaya masuk seperti pengakuan. Jurnal di pangkuanku terasa lebih jujur dari diriku sendiri.

Henry
Ia melihatku terlalu dekat.
Bukan pada wajah.
Pada sesuatu yang lebih dalam dan lebih sulit kutolak.
Aku merasa hidup, ketakutan itu terasa manis.

Hugo
Ketenangannya menusuk.
Ia mencintaiku dengan cara yang tidak membuatku tumbuh.
Aku merasa bersalah karena itu.

Malam
Menulis membuatku gemetar.
Bukan karena kata-kata
tetapi karena apa yang menuntut untuk dituliskan.

June
Ia memasuki kamar seperti bisikan.
Aku ingin menjauh, tetapi tubuhku tetap diam.
Ia memandangku seakan mengetahui rahasia yang belum kuberi nama.

Pertemuan
Henry membangkitkanku.
June memecahkanku.
Keduanya membentuk ruang yang tak pernah kupahami sebelumnya.

Diri
Aku bukan istri.
Bukan kekasih.
Bukan objek.
Aku hanya perempuan yang mencoba memahami jiwanya sendiri
dengan pena sebagai satu-satunya saksi.

Larut
Setiap halaman penuh, aku merasa sedikit lebih jujur.
Sedikit lebih hidup.
Sedikit lebih hilang.

Besok
Aku akan menulis lagi.
Mungkin untuk mencari jawaban.
Mungkin untuk membunuhnya.
Mungkin karena aku tidak punya cara lain untuk tetap ada.


Klab Baca Kerumitan Sastra

Dapatkan kolom mingguan Kerumitan Sastra langsung ke inbox kamu setiap Minggu pagi. Gratis, tanpa spam.

Baca Kebijakan Privasi untuk info perlindungan data lebih lanjut

Baca Juga

Telinga yang Tidak Dijual di Pasar Saham Bakal Dibedah Di Denpasar, Habis-Habisan!

Preman Laut

Menemukan Nyala: Jalan Merawat Semangat dalam Menulis

Preman Laut

Dari Gajah Hingga Kutuk: Berikut Tiga Karya Pemenang Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Preman Laut

Album Musikalisasi Puisi “Jalan Suara” Diluncurkan, Royalti Masih Jadi Catatan

Preman Laut

Menteri Kebudayaan Layak Turun

Preman Laut

Tan Lioe Ie Terbitkan Dua Buku Baru di Bawah Ladang Publishing: ‘Tubuh yang Tak Patuh Seluruh’ dan ‘Sekolah Tikus’

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi