Hari ini pemerintah melalui Presiden Prabowo Subianto menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Keputusan itu memunculkan perdebatan luas, bukan hanya tentang siapa yang dipilih negara untuk dihormati, tetapi juga tentang bagaimana sejarah kini dikelola oleh kekuasaan. Narasi masa lalu tidak lagi ditulis oleh sejarawan, melainkan ditata ulang melalui kebijakan politik yang menentukan versi mana yang patut dipercaya.
Bagi keluarga korban pembunuhan massal 1965–66 dan penyintas kerusuhan Mei 1998, langkah ini terasa seperti pengabaian terhadap memori kolektif yang belum pernah tuntas. Di balik seremoni penghormatan, kebijakan kebudayaan justru memperlihatkan kemunduran reflektif: negara memilih mengafirmasi ingatan yang menenangkan, bukan yang menyakitkan.
Dalam konteks inilah peran Menteri Kebudayaan Fadli Zon menjadi penting untuk disorot. Sebagai Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Republik Indonesia, ia memegang tanggung jawab langsung dalam proses penetapan gelar tersebut.
Fadli Zon memang bukan pejabat yang membacakan keputusan, karena pengumuman dilakukan oleh Presiden Prabowo, namun secara struktural ia memimpin lembaga yang merekomendasikan, menyeleksi, dan menandatangani usulan sebelum diajukan kepada presiden. Dengan demikian, kebijakan ini tetap berada dalam lingkup tanggung jawab politik dan moralnya. Perannya tidak semata administratif, melainkan menentukan dalam membentuk arah simbolik negara: siapa yang dianggap layak menjadi teladan sejarah dan siapa yang dikeluarkan dari ingatan nasional.
Beberapa hari sebelum pengumuman, Fadli Zon membuat pernyataan publik yang memperkeruh suasana. Dalam sebuah forum media, ia menantang publik dan kalangan akademik untuk menunjukkan bukti bahwa Soeharto adalah pelaku genosida 1965. Pernyataan itu memantik kontroversi karena berbeda dengan konsensus banyak sejarawan dan laporan lembaga HAM yang selama puluhan tahun mendokumentasikan pola kekerasan dan stigmatisasi terhadap warga sipil.
Ketika seseorang yang menjabat sebagai pengelola kebijakan kebudayaan sekaligus penjaga simbol kehormatan negara mengeluarkan pernyataan seperti itu, ucapannya tidak lagi bisa dianggap sebagai opini pribadi. Ia berubah menjadi sinyal tentang bagaimana negara memperlakukan sejarah bangsanya sendiri.
Keputusan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, disertai dengan pernyataan publik semacam itu, menunjukkan bahwa kementerian telah kehilangan jarak kritis antara pengetahuan dan kekuasaan. Ketika batas itu runtuh, kebudayaan berhenti menjadi ruang refleksi dan menjelma menjadi alat legitimasi.
Masalah ini semakin tampak ketika kita menengok setahun lebih ke belakang. Sepanjang masa jabatannya, Fadli Zon aktif di ruang publik kebudayaan: membuka festival, menyerahkan penghargaan, dan berbicara di berbagai forum. Aktivitas ini memberi kesan positif di permukaan, tetapi data resmi menunjukkan persoalan mendasar dalam pengelolaan. Dalam Laporan Keuangan Kemendikbudristek 2024, Direktorat Jenderal Kebudayaan memiliki pagu Rp 3,19 triliun dengan realisasi Rp 2,79 triliun atau 87,48 persen. Sekitar hampir setengah trilyun dana publik untuk kebudayaan tidak terserap, angka yang menandakan pelaksanaan program belum optimal.
Di sejumlah daerah, terutama di Bali, dana festival terserap tinggi sementara kegiatan seperti digitalisasi arsip, riset budaya, atau perawatan museum justru tertinggal. Pola ini memperlihatkan orientasi kebijakan yang lebih menonjolkan seremoni ketimbang substansi. Kebudayaan dikelola sebagai citra administratif, bukan sebagai proses pengetahuan jangka panjang.
Krisis ini semakin jelas ketika kementerian meluncurkan proyek penulisan ulang sejarah nasional sepuluh jilid. Sejumlah sejarawan dan lembaga HAM menilai prosesnya tidak cukup transparan dan berpotensi mengaburkan bab penting seperti peristiwa 1965–66 dan 1998. Proyek itu kini tertunda setelah menuai kritik publik.
Dalam wawancara lain, Fadli Zon menyatakan bahwa belum ada bukti langsung yang mengaitkan Soeharto dengan pembunuhan 1965–66. Pandangan itu memang sah sebagai opini, tetapi menimbulkan kegelisahan karena bertentangan dengan konsensus riset akademik dan testimoni korban. Komentarnya mengenai laporan kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa pada Mei 1998 yang disebutnya belum terbukti secara hukum juga menimbulkan kekecewaan di kalangan penyintas dan aktivis HAM.
Fadli Zon beralasan bahwa pernyataannya bertujuan memperluas ruang debat sejarah. Namun ketika debat tersebut datang dari kursi seorang menteri, konsekuensi simboliknya menjadi sangat besar. Publik dapat menafsirkan pandangan itu sebagai sikap resmi negara terhadap peristiwa kelam masa lalu. Dalam konteks ini, penyangkalan bukan lagi sekadar tindakan individu, melainkan bentuk penyangkalan institusional: cara birokrasi menolak berhadapan dengan luka sejarahnya sendiri.
Laporan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) juga menunjukkan bahwa Fadli Zon menempati posisi di antara lima pejabat dengan kinerja terendah. Ia memperoleh skor –36 poin dari enam indikator utama: pencapaian program, relevansi kebijakan, tata kelola anggaran, komunikasi publik, kepemimpinan, dan penegakan hukum.
Bersama dengan temuan serapan anggaran yang tidak merata, data tersebut memperlihatkan perlunya evaluasi menyeluruh atas arah kementerian. Masalahnya bukan hanya soal angka, tetapi juga soal cara berpikir. Kebudayaan diukur dengan jumlah acara dan laporan kegiatan, bukan dengan kedalaman makna yang dihasilkannya. Negara menjadi sibuk bekerja tanpa tahu apa yang sedang dikerjakannya.
Penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional memperlihatkan betapa rapuhnya kebijakan kebudayaan ketika dijalankan tanpa refleksi historis. Ketika sejarah dipakai untuk menenangkan politik masa kini, kebudayaan kehilangan fungsi utamanya sebagai ruang akal sehat bangsa.
Karena itu, Denpasastra menilai Menteri Kebudayaan Fadli Zon layak turun sebagai bentuk tanggung jawab moral dan administratif atas kebijakan yang semakin jauh dari mandat pemajuan kebudayaan. Penilaian ini bukan seruan politik, melainkan kesimpulan editorial yang bersandar pada data publik, laporan resmi, dan reaksi masyarakat kebudayaan.
Denpasastra percaya bahwa kebudayaan yang sehat tidak memerlukan pahlawan baru, melainkan keberanian untuk tidak berbohong.
***
Catatan Redaksi
Tulisan ini merupakan sikap editorial Denpasastra berdasarkan data publik, laporan resmi, dan dokumentasi media. Semua pandangan terhadap kebijakan menteri bersifat penilaian jurnalistik dan terbuka untuk hak jawab.
