Denpasastra.net
Sumber Foto: instagram/reefbeachclub
Esai

Ubud Village Jazz Festival Kembali dengan Komitmen Idealistik yang Tak Luntur

Bogie Prasetyo: Jazz Itu Minoritas, Tapi Kami Setia

“Jazz itu musik minoritas. Tapi kami tetap setia.”

Kalimat itu diucapkan Bogie Prasetyo, drummer dan pendiri proyek Jazz Traveler, dalam konferensi pers Ubud Village Jazz Festival (UVJF) 2025 yang digelar Jumat lalu di Teroemboe Resto, Sanur. Di tengah hingar-bingar festival musik yang semakin dikendalikan algoritma dan sponsor raksasa, pernyataan Bogie sebagai salah satu penampil UVJF 2025 terasa seperti manifesto kecil sekaligus pengingat bahwa tidak semua panggung harus tunduk pada tren mayoritas.

Tampil pertama kali di UVJF tahun 2014 silam, musisi jazz seperti Bogie tentunya menyaksikan langsung bagaimana festival ini bertahan dengan komitmen yang nyaris utopis: menyajikan jazz secara utuh, tanpa kompromi genre, tanpa membungkusnya dengan kemasan pop untuk sekadar mengejar jumlah penonton.

“Festival ini adalah salah satu dari sedikit festival yang masih memegang komitmen idealis,” katanya. “Tetap setia pada jazz, walaupun genre ini sering dianggap sebagai ‘musik minoritas’. Konsistensi itulah yang membuat saya bangga menjadi bagian dari UVJF.”

Konfrensi Pers UVJF di Teroemboe Resto, Sanur, Bali. Foto: Muhammad Arsyi

Jazz, dan Minoritas yang Layak Dirayakan

Jazz memang tak pernah menjadi genre utama di negeri ini. Bahkan di level global, jazz sering diasosiasikan dengan audiens yang dianggap “berkelas”, “intelektual”, atau lebih buruk lagi: “usang”. Tapi UVJF selama 12 tahun terakhir justru membalikkan asumsi itu. Festival ini tidak sedang mencoba membesarkan jazz, tapi menjadikannya relevan: melalui ruang yang intim, kurasi yang jujur, dan keterbukaan terhadap bakat lintas generasi.

Nama-nama seperti Mahanada, musisi muda berusia 15 tahun, dan Diah Gayatri, vokalis Gayatri Quartet yang akan tampil perdana di UVJF, menjadi bukti bahwa jazz tak mati untuk nama-nama baru dan generasi penerus. Mereka hanya butuh panggung yang tulus.

Baca Juga  8.414 Kata untuk Kontemplasi yang Tak Pernah Selesai: ‘Membaca Ulang’ Lagu-Lagu Peterpan

“Ini adalah kali pertama saya tampil di UVJF,” ujar Diah Gayatri. “Festival ini tampil beda dengan menyajikan 100% jazz di panggung-panggungnya. Saya sangat menghargai komitmen ini,” tambahnya.

Bukan Sekadar Musik, Tapi Ruang

Tema UVJF 2025, Langit & Bumi, diterjemahkan dalam konsep desain arsitektural bernama Nyegara Gunung, menggandeng arsitek Klick Swantara dan Diana dari Archimetriz. Ada dua panggung utama: Stage Giri dan Stage Subak, yang merepresentasikan udara dan tanah, langit dan bumi. Mereka bahkan meniadakan penggunaan gelas plastik dan kertas, menggantinya dengan sistem deposit cup dan refill tumbler.

“Kami ingin festival ini tetap inklusif dan ramah lingkungan,” ujar Diana. “Karena jazz adalah musik yang rendah hati dan bisa dinikmati oleh siapa saja.”

Sementara itu, Co-founder UVJF, Anom Darsana, kembali menegaskan bahwa festival ini bukan dibangun untuk keuntungan. “Tidak ada satu pun dari kami yang hidup dari festival ini. Tapi kami terus jalan, meski berdarah-darah sejak awal.”

Nada yang Tak Akan Diam

Bogie Prasetyo tak sendiri. Di UVJF, dia bagian dari jaringan musisi, penggemar, arsitek, teknisi suara, dan relawan yang percaya pada satu hal: jazz layak hidup. Bukan hanya sebagai musik, tapi sebagai cara hidup yang menghargai ruang, jeda, dan ketulusan.

“Jazz itu minoritas, tapi kami setia,” ulang Bogie.

Dan di Ubud, setidaknya selama dua hari di awal Agustus nanti, kesetiaan itu akan berbunyi. Tidak keras. Tapi jujur. Maka bawa pulang telingamu yang jenuh itu ke Ubud. Mari dengarkan jazz, hirup udara yang jujur, dan temukan kenikmatan yang tak bisa dicari lewat algoritma.

Baca Juga

Pernyataan Thom Yorke Soal Gaza: Dari Cancel Culture Sampai Harapan Kemanusiaan

Preman Laut

Dua Penulis Bali, Tan Lioe Ie dan Pranita Dewi, Masuk Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Preman Laut

Sastrawan Harus Miskin

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi