Denpasastra.net
Esai

Seni Menjadi Tidak Meledak di Dunia yang Terlalu Mudah Terbakar

Di era ketika kemarahan dirayakan di media sosial dan balas dendam dinormalisasi, kita sering lupa: meledak bukan satu-satunya bentuk keberanian.

Belakangan ini, bukan cuma orang-orang biasa atau para cecunguk jalanan yang mudah tersulut api, tapi juga petinggi dua negara nun di sana yang tengah berkonflik katanya. Mereka berdua, begitu juga polarisasi para pendukungnya, kian gemar memamerkan ledakan dan dentuman, seperti pasangan kehilangan kata-kata dan memilih kekerasan sebagai solusi.

Yang tersisa hanyalah kehancuran berupa sorotan FYP dan algoritma. Semua dikemas jadi asupan mini yang kita scroll lahap dengan liat lewat gawai berstatus low-battery karena malas kita charge sudah berhari-hari.

Taksiranku, masyarakat tontonan kiwari sudah kecanduan disuguhi perang bayangan ala proxy dalam resolusi tinggi. Kini bahkan rudal sungguhan terekam dalam sudut sinematik dibubuhi lagu Coldplay: dari Gaza ke Tel Aviv, dari Damaskus ke Rafah, dari footage militer ke viral TikTok. Padahal tontonan kiwari tak lagi butuh dramatisasi: kenyataan telah cukup brutal untuk ditonton berjuta kali. Balas dendam yang dulu dianggap dosa, kini diberi bingkai revolusioner, dibenarkan dengan thread panjang di X, dan ditambahi caption “ini baru keadilan.”

Beberapa teman di media sosial bahkan mulai mempertimbangkan apakah menolak kekerasan masih relevan di zaman algoritma. Dan itu… miris. Tapi memang begitulah publik: kalau tidak bisa mencegah bom, paling tidak mereka bisa bersorak saat bom meledak di sisi yang mereka anggap layak dihancurkan.

Dari balik kacamataku yang butut, aku merasa dejavu. Segalanya mulai tampak seperti drama rumah tangga gagal (seperti rumah tanggaku dulu): lini masa ribut soal harga diri kemanusiaan yang dilukai, pakar dadakan sibuk mengkaji ‘batas kewarasan mana’ yang telah dilanggar, sementara luka sejarah dikoyak-koyak seakan tak pernah bisa sembuh. Ibarat sepasang kekasih keras kepala, saling menyalahkan dan sama-sama menolak mengalah.

Baca Juga  Menafsirkan Bib Bob

Tapi kali ini jelas ini bukan sekadar perkara kisah cinta yang retak. Ini geopolitik. Salah langkah sedikit, tau-tau kita sudah di ambang perang dunia entah keberapa. Dan potensi dampak perang nuklir bak dunia post-apokalip seperti di film-film, sungguh-sungguh terpampang potensinya di depan mata.

Di masa-masa seperti ini, aku kehilangan lebih banyak kata dari biasanya. Karena ini nyawa manusia. Dan perihal nyawa, kita tak pernah tahu: ia akan tinggal sejenak lebih lama atau pergi lebih cepat dari biasanya.

Di tengah semua kegaduhan ini, aku teringat satu hal yang sering disepelekan: kemampuan untuk tidak meledak. Dulu aku pikir itu kelemahan. Aku mengira diam berarti kalah.

Tapi hidup 40 tahun lebih mengajariku bahwa tidak semua rasa sakit perlu dibalas dengan gempuran buta. Tidak semua luka harus berakhir dengan balas dendam seketika. Ada kekuatan dalam menunda dentuman dan momentum yang tepat pada waktunya. Ibarat memilih tetap waras bahkan ketika dunia membolehkanmu ikut gila.

Dus, kita hidup di zaman yang menyuruh kita untuk cepat marah. Lini masa, kolom komentar, bahkan obrolan warung kopi semua mendewakan reaksi. Lalu siapa yang memberi ruang bagi ketenangan? Siapa yang mengapresiasi jeda? Padahal, kadang yang kita butuhkan bukan kemenangan, tapi keselamatan. Bukan membalas, tapi menyembuhkan.

Namun, bagaimana menyembuhkan bila rasa dendam telah diberi panggung dan disulut oleh algoritma? Di media sosial, banyak yang kini menganggap aksi balas dendam sebagai satu-satunya bentuk keberanian. Pengeboman dibenarkan sebagai bagian dari ‘perlawanan balik’, dan mereka yang memilih jalan damai dianggap pengecut atau pengkhianat. Ini bukan hanya konflik antarnegeri, tapi juga konflik identitas: tentang siapa yang masih punya empati, dan siapa yang sudah membakar semua ruang kompromi.

Baca Juga  Sastrawan Harus Miskin

Maka, seni menjadi tidak meledak bukanlah seni untuk pasrah, tapi seni untuk tetap manusiawi ketika yang lain sudah memilih jadi api. Di dunia yang terlalu mudah bagi siapa saja meledakkan rudal, memilih untuk tidak ikut terbakar seperti halnya reaksi yang kupilih hari-hari ini ketika kita sama-sama terpancing amarah, adalah bentuk perlawananku paling radikal.

Dan begitulah ledakan dalam dadaku, yang masih bergemuruh diam-diam padamu: ada kala dan seringnya aku memang tidak setuju oleh anu itu, tapi bilamana pun itu… aku bakal tetap tinggal di sisimu dan tetap memilih berproses bersamamu.

Bukan karena aku tak mampu pergi. Tapi karena aku percaya: mencintaimu, bahkan ketika dunia menyebutnya kelemahan, adalah cara paling berani untuk tetap hidup.

Baca Juga

Menafsirkan Bib Bob

Preman Laut

Dua Penulis Bali, Tan Lioe Ie dan Pranita Dewi, Masuk Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Preman Laut

Sastrawan Harus Miskin

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi