Dalam dunia sastra, ada karya yang muncul begitu saja. Ia bak bunga liar, beberapa diantaranya tumbuh di sela-sela batu, beberapa yang lainnya lahir dari proses perjalanan panjang.
“Manusia-Manusia,” judul buku kumpulan cerpen yang dikuratori oleh Moch Satrio Welang (selanjutnya disebut Mochs), masuk ke kategori yang kedua. Pasalnya, buku ini bukan hanya sekadar kumpulan cerpen yang biasanya sekedar koleksi cerita pendek milik penulis anu itu secara keroyokan, tapi juga sejatinya adalah arsip yang lahir dari pergulatan panjang interaksi Mochs dengan sekian banyak cerpenis di Bali.
Dari wawancara dadakan yang saya lakukan di bilangan kost daerah Imam Bonjol, Denpasar, Mochs mengaku kalau proyek ini bermula lebih dari satu dekade lalu, pada 2009, tak lama setelah ia kehilangan ibunya. Kesedihan yang mengendap dalam diri tampaknya menjelma menjadi dorongan untuk mendokumentasikan pengalaman manusia dalam berbagai bentuknya.
Oya btw, sebelum ini Mochs telah menerbitkan “Keranda Emas,” sebuah kumpulan puisi yang menjadi langkah awalnya dalam menerjemahkan duka ke dalam kata-kata. Namun, proyek “Manusia-Manusia” sendiri tak berjalan mulus. Ia terbentur oleh banyak hal—keterbatasan dana, kesibukan, dan pergulatan batin sebagai seorang seniman yang terus berproses di tengah dunia yang bergerak cepat. Siapa yang menyangka bahwa menulis itu tidak hanya soal inspirasi, tetapi juga soal bertahan hidup di tengah jadwal kerja dan harga kopi yang makin mahal?
Di sela-sela tantangan itu, Mochs memilih jalan yang tak biasa: ia berlayar, bekerja sebagai kru kapal pesiar, menyaksikan dunia dari sudut pandang yang tak semua orang bisa rasakan. Tapi ia tak pernah benar-benar meninggalkan dunia sastra. Hingga di tahun 2010, ia mendirikan Teater Sastra Walang, menjadikannya ruang kolaborasi, tempat kata-kata bertemu dengan panggung, dan suara-suara kecil mendapatkan gema. Dalam rangka inilah, “Manusia-Manusia” lahir—bukan hanya sebagai buku, tetapi sebagai sebuah ruang yang menampung suara berbagai generasi penulis. Kalau Mochs bisa mengelola teater, menulis, dan berlayar sekaligus, kita seharusnya bisa setidaknya menyelesaikan satu buku yang sudah bertahun-tahun mangkrak di rak.
Dengan 33 cerpen dari nama-nama seperti Pranita Dewi, Muda Widjaya, dan (alm) Cok Sawitri dll, buku ini menyajikan keberagaman perspektif, dari hubungan keluarga yang rumit, percintaan yang tak selalu manis, hingga perjumpaan manusia dengan kematian.
Beberapa kritik mungkin muncul—tentang bagaimana cerpen-cerpen ini tidak cukup mengangkat tema khas Bali seperti Ngaben atau Nyepi. Namun, justru dalam keberagaman tematik inilah buku ini menemukan kekuatannya. Sebab manusia, sebagaimana diungkapkan dalam setiap halaman buku ini, adalah entitas yang tak bisa dibatasi oleh ruang dan ritual semata. Mereka adalah makhluk dengan kompleksitas yang melampaui batas geografis. Lagipula, tak semua orang Bali bangun pagi langsung mikir soal Ngaben, bukan?
Sebagai seorang kurator, Mochs bukan hanya mengumpulkan naskah, tetapi turut menyusun, mengasah, dan menyempurnakan setiap cerita bersama Muhammad Erdiansa dan Fani Yudistira sebagai editor. Proses ini dilakukan dengan ketelitian super serius—melalui tiga tahap penyuntingan—untuk memastikan bahwa setiap kisah tetap otentik, tanpa kehilangan esensi suara penulisnya. Delapan ilustrator turut berkontribusi, memberikan visual yang bukan sekadar pelengkap, tetapi lapisan tambahan yang memperdalam pengalaman membaca. Seakan-akan, jika pembaca mulai lelah dengan kata-kata, mereka bisa istirahat sejenak dengan ilustrasi, lalu kembali lagi ke dunia cerita.
Buku ini juga memunculkan perbincangan menarik seputar identitas dan sastra Bali. Dalam kata pengantarnya di halaman pembuka, Arif Bagus Prasetyo menyoroti dua makna dari istilah “sastrawan Bali”—apakah mereka yang beretnis Bali, ataukah mereka yang tinggal dan berkarya di Bali? Ini adalah pertanyaan yang terus bergema dalam lanskap sastra kontemporer: apakah tempat lahir menentukan suara seorang penulis? Ataukah pengalaman dan interaksi dengan ruang yang melahirkan karya lebih berpengaruh?
Dalam “Manusia-Manusia,” kita melihat bagaimana kedua perspektif ini bersinggungan, menciptakan mozaik cerita yang tidak selalu harus membicarakan Bali, tetapi tetap membawa jejaknya. Bahkan mungkin, buku ini membuktikan bahwa tak peduli di mana pun seseorang menulis, selama masih manusia (dan bukan AI yang dikembangkan dengan terlalu ambisius), maka kisah-kisahnya tetap relevan.
Judul “Manusia-Manusia” sendiri bisa jadi terasa seperti pleonasme. Bukankah sastra pada akhirnya adalah tentang manusia? Namun, justru dalam pengulangan ini terselip sebuah gugatan: manusia seperti apa yang ingin kita baca, dan yang lebih penting, manusia seperti apa yang ingin kita pahami?
Buku ini menjelajahi berbagai cara manusia berhadapan dengan masa lalu—dari kisah “Pemanggil Bidadari” yang menawarkan rekoneksi dengan kenangan, hingga “Rumah yang Terlalu Sunyi…” yang menunjukkan bagaimana luka bisa tetap menganga bertahun-tahun kemudian. Karena, jika ada satu hal yang pasti, manusia adalah makhluk yang gemar menggali luka lama, meromantisasi penderitaan, dan tetap menulis meskipun deadline sudah kelewat jauh.
Lebih dari sekadar buku, “Manusia-Manusia” adalah penanda zaman, bukti bahwa sastra Bali terus bergerak, menyesuaikan diri dengan perubahan tanpa kehilangan akar. Dengan mengumpulkan suara-suara dari berbagai latar belakang, buku ini menunjukkan bahwa sastra bukan sekadar monumen yang statis, tetapi organisme hidup yang terus tumbuh dan menjalar ke berbagai arah—seperti benalu di pohon beringin, tapi dengan niat baik.
Bagi mereka yang mencintai sastra—baik sebagai pembaca, penulis, atau pencari makna—”Manusia-Manusia” bukan sekadar kumpulan cerpen. Ia adalah perjalanan, baik bagi para penulisnya maupun bagi siapa saja yang siap tersesat dan menemukan diri dalam cerita-cerita yang mereka tinggalkan. Dan siapa tahu, setelah membaca buku ini, mungkin kita akhirnya akan berani menghapus file draft cerita yang selama ini hanya jadi penghuni folder ‘Kerjaan Setengah Jadi’.. entah untuk dilanjutkan dengan gagah berani seperti Mochs dengan Manusia Manusia-nya, atau cukup dituntaskan sampai di sini. Wohoho!!