Denpasastra.net
Resensi

Catatan dari Peluncuran dan Pameran Book of Fire: Manifesto Chaos Citra Sasmita

27 September 2025 kemarin menandai pembukaan pameran tunggal sekaligus peluncuran buku puisi Citra Sasmita bertajuk Book of Fire. Pameran yang dihelat sebulan penuh hingga 27 Oktober 2025 ini, bertempat di Ruang Arta Derau (RAD), Desa Kedisan, Tegallalang, Gianyar.

Dimeriahkan oleh diskusi buku bersama Wayan Jengki Sunarta dan Dwi S. Wibowo, serta penampilan musik, acara pembukaan berlangsung hangat sekaligus intens.

Di ruang pamer, 19 cetakan Riso edisi terbatas menjadi inti pameran. Visual-visualnya menampilkan tubuh perempuan yang dimutilasi, darah, api, ular yang berganti kulit, semua dipulas dengan teknik Kamasan yang dipelajari Citra dari Mangku Muriati di Klungkung.

Tafsir feminis ala Citra membuat gambar-gambar itu berbeda dari Kamasan tradisional: keras, getir, dan tak segan menantang patriarki. Selain cetakan, katalog juga memperlihatkan adanya spanduk besar dengan kalimat provokatif, seperti “Seni adalah candu bagi umat manusia” atau “tidak ada sejarah revolusi yang terjadi tanpa sosok seorang pelacur”. Kalimat-kalimat itu terasa lebih dekat pada orasi dibanding puisi, sengaja ditampilkan untuk mengguncang pembaca.

Materi yang ditampilkan dan katalog yang diterbitkan Book of Fire memberi gambaran jelas tentang apa yang terjadi di ruang itu: pertemuan antara bahasa rupa dan bahasa puisi, antara arsip tubuh dan suara perlawanan.

Buku Book of Fire sendiri hadir dengan sampul emas, berisi tiga puisi panjang: Hantu Masa Depan, Kaum Intelektual Palsu, dan Api Perlawanan. Fragmen di dalamnya menyodorkan kritik sosial, kegelisahan eksistensial, dan manifesto tubuh yang menolak tunduk pada sistem patriarki. Nama Artemisia Gentileschi muncul sebagai penanda, menghubungkan suara Citra dengan sejarah panjang perlawanan perempuan dalam seni rupa.

Dalam pengantar katalog, Wayan Jengki Sunarta menulis: “Buku ini adalah catatan personal sekaligus manifesto, seni yang menolak jinak dan menolak menjadi ruang aman.” Sementara kurator Dwi S. Wibowo menyebut Book of Fire sebagai titik balik bagi praktik Citra: “Lewat Book of Fire, bahasa rupa dan bahasa sastra berjalan beriringan, memperkuat satu sama lain, menghadirkan ruang refleksi dan perlawanan.” Kutipan keduanya menegaskan bahwa pameran ini tidak hanya dokumentasi, melainkan pernyataan sikap.

Baca Juga  Review Buku Kumcer 'Manusia Manusia': Kisah yang Menjalar dari Ingatan ke Imajinasi

Profil Citra yang unik memberi konteks mengapa karya ini lahir. Ia lahir di Tabanan, 30 Maret 1990, menempuh pendidikan Fisika di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, sebelum memilih jalur seni rupa secara otodidak. Kariernya dimulai sebagai ilustrator cerita pendek di Bali Post (2012–2018) bersama Oka Rusmini.

Selain ilustrasi, ia menulis puisi, esai, dan prosa liris, bahkan sempat hadir sebagai Emerging Writer di Ubud Writers & Readers Festival 2009 lewat buku puisi edisi terbatas Farewell Hymne dan Journey to Eternity. Puncak pengakuannya datang lewat Timur Merah Project, reinterpretasi feminis atas tradisi lukisan Kamasan, yang membawanya ke berbagai biennale internasional di São Paulo, Sydney, Sharjah, Diriyah, hingga Hawai‘i. Pada 2017 ia meraih Gold Award UOB Painting of the Year, tonggak penting dalam kariernya.

Book of Fire malam itu di RAD menjadi simpul dari perjalanan tersebut. Tubuh, luka, api, kata, dan gambar berpadu menjadi kitab. Ia bukan sekadar catatan pribadi, melainkan manifesto yang menggugat intelektual palsu, menolak patriarki, sekaligus menunjukkan jalan seni sebagai medan pertarungan, penyembuhan, dan penciptaan ulang sejarah. Materi pameran dan buku yang terbit memastikan bahwa dari desa kecil di Bali, sebuah api sudah dilepaskan, dan ia akan terus menyala.

***

  • Pameran “Book of Fire” berlangsung 27 September – 27 Oktober 2025 di Ruang Arta Derau (RAD), Desa Kedisan Banjar Pakudui, Tegallalang, Gianyar, Bali. Didukung oleh Rpff & PR Arthandling.
  • Teks oleh Preman Laut & Moch. Satrio Welang. Foto-foto oleh Moch. Satrio Welang

Baca Juga

Hari-Hari Terakhir Peterpan

Preman Laut

Lagipula Hidup Akan Berakhir: Merayakan Kekalahan, Lalu Apa?

Preman Laut

Merayakan 25 Tahun Album OK Computer – Radiohead

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi