Pernah nggak kamu merasa dadamu sesak dan perutmu seperti dihinggapi kupu-kupu, penuh dengan sesuatu yang entah mirip perasaan rindu akan seseorang atau bahkan sesuatu, tapi kamu tidak tahu jelas apa dan siapa yang kamu rindukan? Sebuah kerinduan itu konon tanpa objek, tanpa nama, dan tanpa tujuan. Yang jelas-jelas kamu rasakan hanyalah ia ada di sana, hadir begitu saja senyata-nyatanya.
Orang-orang mungkin akan bilang kalau kita sedang merindukan masa lalu. Yang lain mungkin bisa bilang kita sedang meresapi trauma masa kecil kita yang hilang dan selama ini terkubur di alam bawah sadar. Kita juga bisa saja merindukan versi diri kita dulu yang pernah bersinar, pada zaman keemasan yang semakin hari terasa mustahil untuk diulang.
Apapun itu, sialnya perasaan-perasaan semacam ini bak gema yang terus tertinggal dan memantul di dinding memori. Sekali kita rasakan, ia akan tetap bergetar di dalam dada meski waktu mendorong kita jauh ke depan, meninggalkan kenangan akan masa-masa ketika dunia terasa lebih sederhana dan penuh kemungkinan.
Ranah psikologi pernah coba menjelaskan perasaan-perasaan semacam ini sebagai keinginan yang muncul dari kekurangan (desire as lack). Katanya, kita tidak merindukan sesuatu yang spesifik; yang kita rindukan adalah keberadaan itu sendiri, karena ada “kekurangan keberadaan” yang mendasari pengalaman kita. Rasa tidak lengkap inilah yang memicu kerinduan, menjadikannya nyata dan hadir dalam tubuh meski objeknya tak pernah jelas. Seperti kolam tanpa sumber air, perasaan ini terus mengisi dirinya sendiri, selalu menunggu, dan tak pernah benar-benar puas.
Yang juga menarik, kita juga mengenal istilah différance dalam ranah filsafat untuk menangkap pengalaman seperti ini. Sebuah permainan kata yang sulit diterjemahkan secara penuh ke bahasa Indonesia, karena sekaligus merujuk pada “perbedaan” dan “penundaan.”
Dalam différance, makna tidak pernah hadir utuh di depan kita; ia selalu ditunda, selalu bergeser, selalu menunjuk pada sesuatu yang lain di luar jangkauan. Mungkin inilah yang kita rasakan saat dada penuh rindu: ada sesuatu yang jelas kita tangkap, tapi ia tak pernah bisa kita pegang sepenuhnya. Inilah ironi différance: makna selalu tertunda, namun kita tetap mendambakan bentuknya, kehadiran yang menyala di depan mata. Dengan cara yang sama, kita bisa melihat masa lalu dan masa depan sebagai ‘hantu’: wujudnya tak sepenuhnya nyata, namun tetap membayang dan memengaruhi kita.
Dan di saat bahasa tak lagi mampu menampung semua itu, musik mengambil alih peran sebagai medium yang menampung absensi dan kerinduan. Dalam rangka inilah saya menemukan bagaimana Wish You Were Here sebagai album studio kesembilan karya Pink Floyd jadi salah satu rilisan musik yang mampu menangkap différance ini dengan sempurna.
Dus, hidup tidak pernah mengizinkan kita berlama-lama dalam kondisi desire of lack dan ‘hantu’ dalam différance. Kita dilempar ke sini, ke masa sekarang, dengan segala ketidakpastian, jarak yang memisahkan, dan tanggung jawab yang berubah bentuk. Di titik ini, rindu itu tak lagi soal kembali ke masa lalu, melainkan soal bagaimana kita hidup dengan jejaknya, membiarkan ia hadir sebagai bayangan yang menuntun sekaligus menghantui.
Pada akhirnya, kita cuma berharap seseorang itu ada di sini bersama kita, di samping kita untuk sekadar menemani. Entah siapapun dia: teman lama, bayangan masa muda, atau orang asing. Harapannya sederhana. Bukan untuk mengembalikan masa lalu, melainkan menempatkan sesuatu yang hilang ke dalam ruang bersama, agar ia tidak lagi hanya menjadi gema yang terus memantul sia-sia di dalam dada.