Denpasastra.net
Esai

Siapa Aku, Kamu, dan Kita di Album Rimpang: Membongkar Pronomina versi ERK

Dalam kajian bahasa, pronomina sering dianggap sebagai perangkat kecil yang kerjanya sepele: menunjuk aku, kamu, mereka, kita, dan kalian sebagai personifikasi tokoh. Ia merupakan kata ganti orang yang kerap diterima sebagaimana adanya saja, tanpa kita merasa perlu memeriksanya lebih lanjut.

Padahal dalam praktik estetika, pronomina bisa bekerja lebih jauh dari sekadar fungsi gramatikal. Teknik focalization (Genette) dalam sastra misalnya, adalah teknik penceritaan sebagai cara penulis mengendalikan aliran informasi, membatasi apa yang diketahui pembaca berdasarkan apa yang dilihat, didengar, atau diketahui oleh narator atau karakter tertentu dalam cerita. Dengan menyimak kata ganti orang lebih mendalam, kita bisa membuka peta relasi sebuah karya: siapa berbicara kepada siapa, dari posisi apa dan dengan intensi apa.

Dalam rangka inilah, teknik focalization yang bekerja lewat pemilihan pronomina bisa dipandang sebagai keputusan ideologis sang seniman. Ia dapat dibongkar untuk menyingkap perspektif tak kasatmata di balik sebuah karya. Dan karya yang hendak diulas kali ini adalah Rimpang, album keempat Efek Rumah Kaca (ERK) yang belakangan masuk lagi ke heavy rotation di playlist saya.

Flashback sedikit, perjumpaan awal saya dengan Rimpang sebenarnya cukup pragmatis: sebuah penugasan liputan dari Serunai untuk meliput konser tunggal ERK di Tennis Indoor Senayan pada 2023. Tugas yang awalnya terasa prosedural untuk mencatat, meliput, lalu menuliskan ulasannya, pelan-pelan berubah menjadi sesuatu yang lebih akrab dengan banyak peristiwa belakangan hari ini.

Terutama di minggu-minggu sesudah kontroversi RKUHAP disahkan dan suasana politik memanaskan ruang publik, banyak orang tersentak pada kenyataan kita bisa sampai kepada titik nadir seperti ini. Kita sebagai bagian dari warga negara yang hajat, hidup dan harkatnya harusnya dijamin undang-undang, justru terus menerus dilemahkan oleh penyelenggara negara.

Di antara pertanyaan-pertanyaan yang tak selesai itulah saya membiarkan album Rimpang menjadi pelarian sejenak dari realitas sosial politik yang mengecewakan, dan mengisi celah-celah algoritma di pemutar musik ponsel dengan caranya sendiri: kalem dan merambat tanpa permisi. Bedanya kali ini, volume lossless audio streaming benar-benar saya naikkan ke level yang lebih terang:

Pada setiap kecewa tumbuh
Menjadi batang ‘kan menjalar
Dengan kesabaran, sembunyi di dalam
Klandestin

Rimpang

Sejak awal kemunculannya, Rimpang memang sudah mencuri perhatian. Publik ingin tahu bagaimana ERK hendak melampaui capaian estetik Sinestesia (2015) yang delapan tahun sebelumnya digadang-gadang media massa sebagai magnum-opus mereka.

Namun alih-alih bergerak ke arah yang lebih avant-garde, ERK justru kembali pada format lagu konvensional dan rumusan pop alternatif: album baru berisi 10 lagu berdurasi rata-rata 4 menit saja. Tidak ada lagi kejutan musikal yang mind blowing, tidak muncul lagi medley dan permainan warna, tidak ditemukan lagi album konsep.

Ironisnya, justru di situlah kelincahan baru ERK dimulai. Rimpang ternyata banyak memuat simbolisasi berisi narasi-narasi kecil yang lebih story telling. Belum lagi judul-judul track-nya terdengar lebih dekat dengan karya sastra semacam cerpen eksistensialis ala Iwan Simatupang atau puisi domestik ala A. Muttaqin, ketimbang sebuah lagu-lagu kalcer kugiran indie.

Seperti pernah saya tulis di Serunai, yang membuat Rimpang menonjol adalah ia lebih kaya secara diksi. Buktinya ia memuat tak kurang dari belasan kata yang berani taruhan sangat jarang kita jumpai di karya kekinian tapi cukup dekat dengan khazanah kesusastraan Indonesia, yakni antara lain ‘gendam’, ‘tubir’, ‘apatah’, ‘godam’, ‘epos’, ‘paria’, ‘ketuban’, ‘gulma’, ‘belepotan’, ‘ilah’, ‘marwah’ dan seterusnya.

Ambil contoh di Fun Kaya Fun. Idiom kekinian dan kata serapan seakan cuek saja diracik tanpa canggung. Strategi menghasilkan sesuatu yang puitik sekaligus eklektik:

Akhirnya bunyi-bunyi, termesinkan kini
Ekspresi emosi, ragawi rohani
Panggung yang gigantik, orang yang pragmatik
Kimia yang epik, apik namun robotik

Saya pribadi selalu menganggap ERK sebagai band yang teliti secara liris. Tetapi Rimpang adalah lompatan lain. Lirik-liriknya bergerak seperti puisi agraris yang ditulis di tengah kota: metafora tanaman, batang, tanah lembap, gulma. Semuanya bertubrukan dengan mesin, algoritma, teknologi, dan kebisingan urban.

Dalam rangka itu pula, pronomina di album Rimpang menurut hemat saya jadi salah satu siasat politik bahasa paling sengit yang pernah dilakukan ERK sepanjang karirnya.

Baca Juga  Jazz Antar Benua Rasa Ubud: Catatan Pandangan Mata Hari Pertama Sthala UVJF 2025

‘Aku’ yang Lenyap Sehabis Lagu Pertama

Hal pertama dan sederhana dalam membaca pronomina di sebuah karya adalah dengan melacak penggunaan kata ‘aku’, pronomina dasar yang hampir selalu hadir dalam musik pop. Kata ‘aku’ biasanya jadi pusat penceritaan sang narator yang bisa berkisah dan berkomentar tentang apapun.

Tetapi dalam Rimpang, pencarian saya berlangsung (hampir) buntu: kata ‘aku’ tidak pernah muncul sekali pun di lagu manapun. Yang ada hanyalah sepenggal ‘ku’ di penghujung reffrain 1 lagu pertama Fun Kaya Fun:

Yang meronta tunai di lantai dansa
Ku mau fun

Kehadirannya pun hanya sekelebat dan sekali itu saja.

Sekilas ini memang bakal menyulitkan pembacaan, pikir saya awalnya. Karena ia tidak membangun identitas apa siapa dan bagaimana Rimpang, tak memberi tubuh pada narator cerita, tak menyediakan figur sentral yang bisa diikuti di setiap track.

Selepas lagu pertama, ‘aku’ lenyap sepenuhnya dan sisa album berjalan dengan absennya pronomina orang pertama tunggal. Inilah teknik focalization pertama yang tampaknya menjadi strategi estetik yang disiapkan ERK dengan sengaja.

‘Kau’ yang Berdebu dan Dilemahkan

Alih-alih menggunakan pronomina ‘kamu’ yang cenderung lunak, santai, bahkan sedikit manja, Rimpang kemudian memilih ‘kau’ sebagai kata ganti orang kedua tunggal. ‘Kau’ adalah pronomina yang paling rajin muncul di album ini.

Bagi saya, ia mengandung makna sebagai sapaan yang lebih keras, lebih kering, dan lebih langsung. Dan karenanya ia mengandung jarak, tetapi bukan jarak yang dingin. Ia berfungsi sebagai teguran tapi bukan kemarahan. Ia tidak berteriak, tetapi tetap menohok.

Maka ketika di Heroik, ERK menulis:

Kau berdebu
pikiranmu
isi hatimu

…yang ditegur bukan hanya figur pejabat tertentu. Yang dituju di sini adalah cara hidup, adalah pikiran yang kusam, adalah moral yang aus dan gaya berkuasa rezim yang sudah melapuk. ‘Kau’ adalah sosok yang mencoba tampil heroik ketika kita semua sudah berhenti percaya pada konsep kepahlawanan semacam itu.

Yang patut dicatat, ‘kau’ dalam Rimpang ternyata jadi pronomina yang paling tidak stabil maknanya. Ia bisa malih rupa dan ditafsirkan lebih luas lagi dalam tiga subjek yang akan saya jelaskan di bawah.

Subjek pertama: ‘kau’ sebagai tubuh yang ditindas

Dalam Bersemi Sekebun, ‘kau’ muncul sebagai tubuh yang dilumat oleh kekerasan negara:

Akhirnya tercerai, kau jatuh terjerembap
Dalam selokan
Diayunkan senapan
Kau saksikan
Langit hitam
Asap mengepul ke udara
Laras panjang hantam kepala

Tidak ada identitas. Tidak ada nama yang dipanggil. Hanya simbolisasi yang menggambarkan adegan kekerasan. ‘Kau’ di sini bisa jadi Widji Thukul yang tak diketahui keberadaannya sampai sekarang, bisa jadi Affan yang dilindas rantis brimob, dan bisa jadi siapa saja yang tubuhnya dihitung sebagai statistik oleh negara.

Subjek kedua: ‘kau’ sebagai tubuh yang dilemahkan

Pada Tetaplah Terlelap, ‘kau’ muncul dalam wujud lain: tubuh yang sengaja dijaga agar tetap tidur.

Jalan yang lengang
Sempit dalam gang
Kau berbaring di sana
Tengadah awan
Dambakan bintang
Masih rebah di sana
Jangan lekas terjaga

Dalam petikan di atas, konteks kekerasan negara tadi bekerja secara hegemonik sebagai kenyamanan palsu. ‘Kau’ adalah masyarakat yang dibuai agar tidak gelisah atas nama stabilitas. ‘Kau’ adalah kita ketika dibiarkan nyaman agar tidak repot bertanya.

Subjek ketiga: ‘kau’ sebagai tubuh yang mengingat

Dan akhirnya, dalam Sondang, ‘kau’ bergeser lagi. Kini ia adalah sosok yang membawa luka sejarah:

Tiada beranjak
Sumbu yang kau nyalakan
Padam sendirian…
Kau teteskan air mata

Sondang di sini tentu mengacu pada nama Sondang Hutagalung, aktivis UBK yang membakar dirinya sebagai bentuk protes terhadap rezim SBY bertahun-tahun silam.

ERK memang tidak mengubahnya menjadi slogan politik, tidak menjadikannya alat agitasi. Yang mereka lakukan justru memulihkan martabat Sondang dengan menolak lupa, dan menghidupkannya kembali dalam lagu sebagai ingatan moral.

Dari tiga lapisan subjek berlapis ini, pronomina ‘kau’ membentuk kurva emansipasi: subjek yang ditindas, subjek yang dilemahkan, dan subjek yang mengingat.

Tak pelak, ‘kau’ menjadi pronomina paling subversif dalam Rimpang karena ia menggerakkan pendengar untuk melihat diri mereka dalam tiga posisi sekaligus.

Baca Juga  Sastrawan Harus Miskin

‘Kita’ yang Mengikat dan Berjejaring

Setelah ‘aku’ yang hilang dan ‘kau’ yang punya tiga wajah, pronomina yang paling mencolok di Rimpang justru adalah ‘kita’. Pasalnya ia hadir hampir di semua lagu dalam album.

Jejaknya mulai terasa sejak Fun Kaya Fun menjelang coda penghabisan lagu lewat koor:

Seisi dunia memahami kita
Teknologi ’kan mengerti kita
Masa depan bagaimana kita

Di pembuka album ini, pengalaman ‘kita’ bersama lahir dari tubuh-tubuh yang bergetar serempak, bukan kesadaran politis. Komunalitasnya yang cair, dibentuk oleh beat elektronik dan cahaya panggung sebagai kerumunan yang terbius mesin bebunyian. Ia serupa kebersamaan yang terjadi karena kebetulan dan pengalaman bersama, bukan komitmen organisatoris.

Kontrasnya lantas muncul tajam dalam Bergeming:

Nyeri sekujurnya
Tak jua diindah
Kereta semakin terguncang
Kita mendengkur oh begitu tenang

Lagu ini menabrakkan dua ruang sekaligus: seseorang yang memikul kondisi tak nyaman, dan kerumunan yang memilih diam. Di sini ‘kita’ adalah jeda panjang antara empati dan ketidakpedulian. Ia bukan solidaritas, melainkan kebisuan yang dibagi bersama.

Dalam Kita yang Purba, ‘kita’ diperluas bukan sebagai kerumunan masa kini, melainkan dalam ketegangan antara sejarah dan modernitas:

Jika jiwa hilang percuma
Bukan bencana, bukan petaka
Modernitas pecahkan problema
Apatah daya kita yang purba?

Pertanyaan ini bukan tentang masa lampau, melainkan tentang rasa tercecer, seolah dunia bergerak terlalu cepat dan kita tidak punya cukup bahasa untuk mengimbangi. ‘Kita’ di sini terasa gamang bukan karena tidak punya harapan, tetapi karena masa depan datang tanpa aba-aba.

Dari semua lapisan ini, ‘kita’ dalam Rimpang terasa seperti akar rimpang itu sendiri: menjalar ke banyak arah, tidak pernah tegak lurus, selalu mencari jalan lain ketika jalan utama tersumbat. Ia tidak muncul sebagai identitas kokoh; ia hadir sebagai lintasan, kadang disatukan oleh ekstase, kadang oleh rasa bersalah, kadang oleh luka sejarah, kadang oleh usaha memahami arah sejarah mana yang murni mana yang hasil revisi.

Dan mungkin di situlah simpulnya: Rimpang menampilkan ‘kita’ bukan sebagai massa, bukan sebagai komunitas yang mapan, melainkan sebagai jaringan pengalaman kolektif berdetak dari titik-titik yang kadang jauh satu sama lain, tetapi tetap saling merambat.

Pada akhirnya, seluruh strategi pronomina di Rimpang terasa seperti cara ERK membicarakan zaman ini tanpa berteriak. ‘Aku’ sengaja dihilangkan, seakan menandai bahwa tidak ada lagi suara tunggal yang bisa memegang kendali. Tidak ada tokoh utama, tidak ada pahlawan, tidak ada narator yang bisa diandalkan. Kekosongan itu mudah kita kenali dalam kehidupan sekarang ketika banyak orang merasa tidak lagi punya figur publik, lembaga, bahkan sistem politik yang bisa dipercayai sepenuhnya.

Lalu ada ‘kau’, yang punya tiga wajah. Kadang korban, kadang orang yang dibuai, kadang penjaga ingatan. Dalam kondisi sosial politik yang makin membebani warga negara, ‘kau’ mengingatkan bahwa semua bisa kena dan siapa pun bisa berada di posisi itu: orang yang ditekan, orang yang dibuat diam, atau orang yang menolak lupa.

Dan ‘kita’ menjadi simpul yang paling jujur. Kadang menari bersama, kadang mendengkur massal, kadang hanya bisa saling mengingatkan dalam luka yang berbeda-beda. Kita adalah generasi yang merasakan patah yang sama, meski bentuknya tidak selalu serupa.

Semua hal inilah yang membuat Rimpang terasa dekat dengan kehidupan sekarang dan judul tulisan ini menemukan jawabannya.

Rimpang sebagai sebuah karya memang tidak menjanjikan apa pun. Ia hanya menunjukkan bahwa sesuatu masih bisa tumbuh, pelan-pelan, di bawah permukaan. Akar-akar kecil itu tetap bergerak meski tanahnya keras, meski jalan utamanya mampet, meski realitas dunia terasa macet.

Dan mungkin itu juga keadaan kita hari ini. Kekecewaan terhadap rezim, retaknya kepercayaan pada demokrasi, dan rasa tidak percaya yang bergerak dari satu simpul ke simpul yang lain, semuanya merambat seperti rimpang. Mendengarkan Rimpang, setidaknya bagi saya, adalah cara untuk tetap saling terhubung dan bertahan sedikit demi sedikit, meski keadaan terus mengecewakan.

Seperti rimpang, kita mungkin tidak terlihat di permukaan. Tapi kita masih hidup, masih bergerak, dan masih saling menemukan di bawah tanah. Seperti Anda yang sudah menemukan penghujung tulisan ini.

Dan untuk sekarang, saya rasa itu cukup.

Baca Juga

SID Balik Lagi ke Dapur Rekaman! Album Baru Setelah Lama ‘Bertapa’?

Preman Laut

Refleksikan Banjir Besar di Bali, Dialog Dini Hari Rilis Single “Bandang”

Preman Laut

8.414 Kata untuk Kontemplasi yang Tak Pernah Selesai: ‘Membaca Ulang’ Lagu-Lagu Peterpan

Preman Laut

Merayakan 25 Tahun Album OK Computer – Radiohead

Preman Laut

Deva Dianjaya Rilis Album Perdana Pendevasaan, Tawarkan Nuansa Baru Musik Patah Hati

Preman Laut

The Pianist dan Pertaruhan Ruang Intim di Denpasar

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi