Denpasastra.net
GP

Tujuh Puluh Tahun, Seperti Pohon Beringin di Tengah Desa

Di setiap desa di Bali, selalu ada pohon beringin tua. Akar-akarnya menjuntai, batangnya kokoh, daunnya menaungi. Ia bukan sekadar pohon, tetapi pusat kehidupan: tempat orang berkumpul, tempat anak-anak bermain, tempat tetua desa memberi wejangan.

Ketika CIMB Niaga merayakan 70 tahun perjalanan, saya membayangkannya seperti beringin itu. Pohon yang tumbuh dari benih kecil di Jakarta tahun 1955, kini berakar dalam di seluruh Indonesia, meneduhkan jutaan nasabah.

Dari ATM Pertama ke OCTO Mobile

Sejarah bank ini penuh jejak pionir. Tahun 1987, mereka memperkenalkan ATM pertama di Indonesia—sebuah mesin ajaib yang kala itu membuat orang ragu: “Apa bisa uang keluar dari kotak besi?” Kini, tiga dekade kemudian, orang justru heran kalau harus ke ATM. Semua sudah ada di layar ponsel lewat OCTO Mobile.

Dari ATM ke aplikasi, dari kartu plastik ke QR code—itulah tanda beringin yang tidak berhenti tumbuh. Ia merespons musim, menyesuaikan diri, tapi tidak kehilangan akarnya.

Antara Cabang dan Banjar

Cabang bank hari ini bukan lagi sekadar tempat setor-tarik. Ia berubah menjadi smart branch, lengkap dengan layar interaktif dan konsultan keuangan. Teller tidak lagi berfungsi sebagai “penjaga gerbang,” melainkan lebih mirip tetua banjar: mendengarkan cerita, memberi saran, merumuskan jalan keluar.

Di Bali, banjar adalah pusat kebersamaan. Bank yang mampu menjadi banjar bagi nasabahnya, akan bertahan. CIMB Niaga tampaknya ingin meneguhkan peran itu.

Hijau, Digital, dan Ironi

Namun, perjalanan panjang ini juga penuh ironi. Di satu sisi, CIMB Niaga menyalurkan triliunan rupiah untuk proyek energi terbarukan dan UMKM ramah lingkungan. Di sisi lain, Bali terus menghadapi ironi pembangunan: sawah menyusut jadi vila, sungai dipenuhi plastik, dan listrik masih bergantung pada fosil.

Baca Juga  Di Balik Layar, Ada Bank yang Bekerja: Bagaimana CIMB Niaga Menjadi Tulang Punggung Gaya Hidup Digital Indonesia

Maka, pertanyaannya: seberapa jauh bank bisa mengarahkan arus uang agar tidak menenggelamkan, tapi menyuburkan? Seperti Subak, bank pun harus belajar menyalurkan aliran agar sawah tetap hijau, bukan kering.

70 Tahun Adalah Usia untuk Berkaca

Tujuh dekade bukan waktu singkat. Bagi manusia, itu usia renta. Bagi pohon beringin, itu barulah awal kematangan. Dan bagi bank, itu saat untuk bertanya: warisan apa yang hendak ditinggalkan?

Apakah sekadar laporan laba dengan angka gemuk? Atau warisan lebih subtil: akses keuangan bagi petani, kesempatan belajar bagi mahasiswa, dukungan bagi usaha kecil, dan bumi yang masih layak dihuni?

Penutup: Bayangan Beringin

Di sebuah sore di desa, saya melihat anak-anak bermain layangan di bawah pohon beringin. Akar-akar tua menopang cabang muda yang terus tumbuh. Saya teringat CIMB Niaga: 70 tahun bukan akhir, melainkan awal dari cabang-cabang baru yang akan terus menjulur.

Dan barangkali, di situlah letak kontribusi sejati sebuah bank: menjadi beringin yang teduh, tidak hanya bagi rekening, tetapi bagi kehidupan. GP/PRANITA DEWI

Baca Juga

Layanan yang Tidak Terlihat, Tapi Terasa: Belajar dari Bali

Writer

Punya Buku Tabungan Pertama, Anak SD Ini Bangga Banget Ceritain ke Gurunya

Writer

Kepercayaan adalah Mata Uang: Tantangan Perbankan Digital di Era Ketidakpastian

Writer
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi