Transformasi digital selalu terdengar seperti janji yang menggembirakan: lebih cepat, lebih mudah, lebih murah. Namun dalam kenyataannya, kecepatan sering kali berarti meninggalkan mereka yang tidak punya daya.
Menurut laporan We Are Social 2024, 72% penduduk Indonesia telah terhubung ke internet. Tapi konektivitas tidak otomatis berarti akses. Dari 190 juta pengguna internet di Indonesia, hanya sekitar 58% yang merasa nyaman melakukan transaksi daring. Sisanya? Hidup di pinggir jalur ekspres yang disebut revolusi digital.
Bank digital mengklaim telah meraih inklusi keuangan. Namun narasi itu kerap gagal menangkap fakta bahwa puluhan juta warga masih belum punya rekening bank, dan lebih dari sepertiga pengguna digital banking berasal dari kota-kota besar. Yang tertinggal? Petani, buruh, lansia, dan pelaku UMKM tradisional.
Inovasi Tanpa Inklusi Adalah Ilusi
Di sinilah pentingnya membedakan antara transformasi dan transisi. Transformasi berarti perubahan sistemik, tetapi transisi memerlukan jembatan—terutama bagi mereka yang rentan tertinggal.
CIMB Niaga mengambil posisi yang relatif berbeda dari pendekatan big-tech banking. Melalui strategi Mobile First, Human Always, mereka tidak hanya memperkuat kanal digital seperti OCTO Mobile, Digital Lounge, dan e-KYC, tetapi juga mempertahankan layanan cabang di wilayah semi-urban. Ini bukan soal mempertahankan masa lalu, tetapi memahami realitas sosial yang masih bertumpu pada interaksi langsung.
“Transformasi digital bukan tentang menghapus manusia dari sistem, tapi tentang menguatkan relasi yang tidak bisa digantikan mesin,” ujar Lani Darmawan, Presiden Direktur CIMB Niaga, dalam wawancara dengan Asian Banking & Finance, 2023.
Infrastruktur Digital Saja Tidak Cukup
Kita tak bisa membicarakan inklusi digital tanpa menyinggung literasi keuangan dan ekosistem pendukungnya. Di beberapa wilayah, jaringan internet masih tidak stabil. Di banyak komunitas, telepon pintar digunakan lebih untuk hiburan daripada pengelolaan keuangan. Digitalisasi tanpa pendidikan finansial hanyalah dekorasi teknologi.
CIMB Niaga mencoba menjawab ini lewat pelatihan literasi finansial berbasis komunitas, kolaborasi dengan sekolah dan pesantren, serta pendekatan hibrida antara kanal daring dan luring. Mereka sadar: pengalaman pengguna tidak dimulai dari login, tapi dari pemahaman.
Manusia sebagai Pusat Inovasi
Di tengah euforia inovasi teknologi, ada satu hal yang mudah dilupakan: tidak semua orang siap, dan tidak semua orang ingin dipaksa berubah. Teknologi harus mengikuti manusia, bukan sebaliknya.
CIMB Niaga, melalui desain antarmuka yang inklusif, penggunaan bahasa yang sederhana, dan opsi bantuan manusia di berbagai titik digital touchpoint, mencoba menempatkan manusia kembali sebagai pusat transformasi. Bukan hanya sebagai pengguna, tapi sebagai pihak yang harus merasa aman dan diberdayakan.
Siapa yang Kita Sisakan?
Digital banking seharusnya tidak hanya menjadi perlombaan antarlembaga dalam menghadirkan fitur tercepat atau cashback terbesar. Ia harus menjadi alat pemerataan. Alat untuk menyamakan akses, bukan memperlebar jarak.
Infrastruktur finansial digital akan terus berkembang. Tapi ukuran keberhasilannya tidak boleh hanya dilihat dari jumlah unduhan aplikasi atau volume transaksi, melainkan dari siapa yang berhasil disertakan dalam sistem. Dan yang lebih penting: dari siapa yang tidak lagi ditinggalkan.
Dalam hal ini, CIMB Niaga belum sempurna. Tapi mereka bergerak—dan itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa kecepatan seharusnya tidak pernah mengorbankan keadilan.