Denpasastra.net
Resensi

Hari-Hari Terakhir Peterpan

Ku menatap langit yang tenang
Dan takkan menangisi malam
Tuk tetap berdiri ku melawan hari
Ku akan berarti
ku takkan mati

***

Mengikuti jejak band dari awal kemunculan hingga perjalanan mutakhirnya, selalu menimbulkan kesan tersendiri. Dengan menyimak peralihan album ke album, saya dituntun memahami isi kepala sang musisi lebih baik dan lengkap lagi.

Kita juga bisa menebak arah musikalitas dan kelangsungan band itu sendiri di masa depan; apakah masa-masa hijau di awal karir berbuah manis lewat konsistensi merilis karya, ataukah bakal cukup berpuas-diri jadi one hit wonder untuk segera dilupakan orang.

Peterpan, sebuah grup musik asal Bandung, yang lahir dari persahabatan Ariel dan Uki sejak SMP tahun 1993 ini punya kisah berbeda. Bersama Andika (kibor, piano), Indra (gitar bas), Lukman (gitar utama), dan Reza (drum, perkusi), keduanya memulai karir mereka sebagai band cafe di awal tahun 2000.

Dua tahun setelahnya, demo pertama dilepas dalam album kompilasi Kisah 2002 Malam besutan Capung Java Jive bersama 9 musisi pendatang baru kala itu. Nomor ‘Mimpi Yang Sempurna’ milik Peterpan, segera mencuri perhatian publik.. dan yang terjadi setelahnya adalah sejarah.

Hal ini terungkap dalam buku autobiografi berjudul Kisah Lainnya; Catatan 2010 – 2012. Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, buku setebal 228 halaman ini berisi perjalanan Peterpan dari tahun 2010 sampai 2012. Format bukunya disusun sebagai kumpulan catatan naratif dari sudut pandang orang pertama.

Adalah Ariel, Uki, Lukman, Reza dan David menyajikan kisah pembentukan awal dan bongkar pasang formasi band. Mereka juga menyingkap proses kreatif masing-masing ketika dihadapkan dengan mimpi, antusiasme, konflik pribadi, hingga urusan tetek bengek promosi pasar, dan kompromi label rekaman yang menaunginya.

Ada Apa Dengan Ariel

Sejatinya, buku Kisah Lainnya.. adalah rekonstruksi runut berbagai kejadian yang dilewati Ariel sesaat setelah skandal video seksnya muncul, jadi bahan gunjingan di ranah publik, lalu ditahan kepolisian dan menghabiskan genap 750 hari dalam bui.

Ditulis dengan diksi dan alur yang baik, buku berisi 7 bab ini menempatkan Ariel sebagai pengarang sekaligus narator tokoh utama yang dominan.

Selain dokumentasi foto beberapa peristiwa di rutan, buku ini juga memuat sejumlah karya sketsa gambar dan petikan puisi yang dibuat Ariel dari dalam penjara. Strategi ini sukses membawa saya sebagai pembaca turut merasakan getir dan asingnya nuansa penjara yang dihadirkan.

Ariel di tengah persidangan. Sumber foto: Istimewa

Interaksi Ariel dengan sesama pesakitan lain di Rumah Tahanan Bareskrim Mabes Polri Jakarta dan Rutan Kebon Waru Bandung jadi latar belakang pengkisahan paling kuat pada bab pembuka dan menjelang bab terakhir.

Beberapa penghuni rutan dihadirkan sebagai tokoh-tokoh anonim dengan sebutan pak RT (kasus pembunuhan direktur utama perusahaan ternama), Ompung Pertama (mantan pejabat Orba, menunggu keputusan kasasi), Ompung Tua (pengusaha sawit terbesar di Indonesia), pak Ustad (sebutan penghuni rutan untuk Abu Bakar Ba’asyir, diduga jadi dalang berbagai kasus terorisme).

Sejumlah nama lainnya termasuk bu Acin alias Indrawati Widjaja Direktur Musica Studio juga hadir di banyak adegan buku ini.

Belum lagi peristiwa take vocal lagu ‘Dara’ di studio mini (baca: kotak kayu persegi panjang di salah sudut ruangan Bimker) Kebon Waru yang kala itu rumornya jadi bahasan tabloid dan koran kuning.

Dengan bantuan salah satu tahanan yang mahir software recording, proses unik pembuatan lagu ini berhasil terdokumentasikan dengan baik. Menjadikan bagian pengalaman ini begitu kaya akan topik bahasan sekaligus sentimentil.

Intensitas saya membaca baru agak kedodoran memasuki bab-bab pertengahan, yang sebagian besarnya adalah flashback berbagai momen masa lalu.

Simak petikan berikut, momen di mana Ariel mulai memberanikan diri memperkenalkan lagu karangannya kepada band saat Peterpan formasi awal terbentuk:

Baca Juga  Pernyataan Thom Yorke Soal Gaza: Dari Cancel Culture Sampai Harapan Kemanusiaan

Saya ingat betul, waktu itu kami sedang berkumpul di basecamp. Saya menyanyikan lagu ‘Ada Apa Denganmu’ dengan keras, mencoba menarik perhatian.

Tidak ada yang menanggapi.

(Hal.51)

Lalu bandingkan juga dengan ingatan Ariel di masa puncak kesuksesan Peterpan tentang posisinya sebagai penyumbang lagu terbanyak dalam band:

‘Sally Sendiri’ dan ‘Di Balik Awan’, misalnya, kedua lagu ini saya perdengarkan kepada kawan-kawan saat Peterpan menggarap album Alexandria.

Ketika mereka menanyakan alasan tidak dimasukkannya kedua lagu itu ke dalam album Alexandria, saya menjawab ringan, “Itu buat simpanan. Barangkali mau solo.”

(Hal.119)

Sentilan Ariel di atas memang tidak berlanjut. Alexandria sebagai album ketiga yang juga jadi lagu tema film berjudul sama, akhirnya rilis dengan kondisi dikejar deadline, hanya berisi 5 lagu baru dan separuhnya lagi hasil remix lagu dari album pertama dan kedua.

Rencana bersolo karir yang dilontarkan Ariel tadi hanya kelakar untuk merangsang produktivitas tiap personil, karena ia menganggap kreativitas dirinya pun memiliki batas. Jika suatu saat ia mandeg dan tak punya ide baru, idealnya personil lain bisa mengisi.

Kisah Lainnya Sebagai Memoar Apologia

Tanpa mengurangi peran personil lain yang ikut menyumbang tulisan di buku ini, bagian Uki, Lukman, Reza dan David yang muncul satu-persatu terasa datar dibaca dan membuat saya cepat bosan.

Pasalnya, kisah keempat personil lain ditulis terpisah dengan intonasi penulisan mirip-mirip: ia bukan hanya jadi pelengkap argumentasi, tapi juga sekedar mengulang paparan yang telah terbangun sejak awal di bawah bayang-bayang narasi Ariel.

Hampir seluruh personil lain mengeluhkan betapa sulitnya kondisi mereka saat itu di hadapan publik yang tengah getol-getolnya menggunjing skandal dan menghujat Ariel. Mereka juga cukup kompak memosisikan diri sebagai korban tak bersalah dimana publik tanpa tedeng aling-aling adalah tokoh antagonisnya.

Tentang hal ini Ariel sendiri mencatat:

“Pengacara? Mengapa saya membutuhkan pengacara?” Pertanyaan itu muncul karena sejauh ini gambaran yang ada di kepala saya adalah menunggu polisi menangkap orang yang telah dengan sengaja mengunggah data itu ke dunia maya. (Hal. 4)

Perihal bagaimana ‘data itu’ tersebut bocor dari manajemen internal band, mencuatnya kasus tersebut ke ranah publik, temuan resmi pihak kepolisian soal 32 video mesum lain yang diduga juga dibintangi Ariel, hingga siapa sebenarnya pihak yang paling bertanggung jawab dari kasus ini seperti alpa disebut.

Tak pelak, banyak rangkaian logika yang hilang di buku ini. Titik berat yang lebih menekankan pada bagaimana band bisa bertahan di masa-masa krisis dan mencoba bangkit, menjadikan buku –yang harusnya bisa jadi salah satu sumbangan dokumentasi penting dunia musik Indonesia– ini jadi sekedar ajakan bagi pembaca untuk melongok ‘dapur’ Peterpan secara komikal.

Ini sangat disayangkan, mengingat saya juga tidak menemukan penjelasan memadai di buku ini mengenai kasus yang paling banyak menyita perhatian industri musik dan dunia hiburan pada masanya.

Wajar bila sejak awal, pembaca memang diarahkan bukan untuk menguak kebenaran atau kejelasan dari peristiwa yang sebetulnya jadi pemantik utama buku ini ditulis.

Lalu adakah rilisnya buku setebal 228 halaman ini sekedar memoar apologia yang hendak mengajak pembacanya ‘amnesia bareng-bareng’ agar jatuh simpati lalu mengamini pesan sponsor: bahwa Peterpan adalah masa lalu, Ariel, Uki, Lukman, Reza dan David baik-baik saja, dan akan terus eksis berkarya dengan nama band baru yang kala itu belum diumumkan?

Lantas bagaimana kita bisa menilai musikalitas Ariel, Uki, Lukman, Reza dan David –berhubung buku Kisah Lainnya.. jadi bundel promosi dengan album instrumental Suara Lainnya yang menjadi hari-hari terakhir mereka menggunakan nama Peterpan?

Mengingat buku tersebut ditulis dengan kapasitas para penulisnya sebagai musisi, tidak adil rasanya bila saya memberikan penilaian kreativitas Aries cs tanpa menengok bagaimana musikalitas Peterpan sesungguhnya. Terlebih lagi karena buku ini juga di-bundling dengan album bertajuk Suara Lainnya.

Baca Juga  Mimesis dan Hiperrealitas 'Painting of Life', Sebuah World View

Membaca’ Suara Lainnya

Secara material, album Suara Lainnya hanya berisi 1 lagu versi baru dari nomor ‘Cobalah Mengerti’ yang dinyanyikan musisi tamu ‘Momo Geisha’ dan 1 lagu baru berjudul ‘Dara’ hasil rekaman Ariel dari dalam penjara. Sisanya adalah 9 lagu lama yang dibawakan ulang secara instrumental.

Tapi secara kualitas, patut diakui bahwa ‘Taman Langit’ versi instrumental yang dimainkan David, Idris Sardi dan Henry Lamiri, serta nomor ‘Sahabat’ yang digubah lewat musik tradisional karinding oleh Kariding Attack adalah nomor paling mengesankan di album ini.

Selebihnya, nomor-nomor apik Peterpan mesti ‘turun derajat’ jadi background music yang biasa diputar lift atau lounge hotel yang terasa medioker.

Masalahnya, porsi vokal yang sengaja dibiarkan kosong (mengingat Ariel masih meringkuk di hotel prodeo) jelas menyulitkan pembacaan bagaimana album ini harusnya dinikmati secara semantik.

Atas pertimbangan inilah saya berasumsi, Suara Lainnya hanya bisa dinilai dalam kaitannya dengan seluruh diskografi Peterpan sejak kemunculannya di album kompilasi Kisah 2002 Malam dimana publik pertama kali mengenal Peterpan awal pergantian tahun millenial.

Visualiasi Semantik Lagu

Berbekal koleksi lirik lagu yang saya kumpulkan dari situs database lirik lagu Genius dot com, info diskografi di Wikipedia, menaruhnya di Google Spreadsheet dan menghubungkannya dengan Google Data Studio, saya membuat visualisasi sederhana berikut sebagai alat analisis.

Tercatat bahwa sepanjang karirnya, Peterpan menyanyikan sebanyak 775 varian kata dari total 8.414 entri kata berbahasa Indonesia dalam lagu-lagunya.

Rasio 1:11 dalam perbendaharaan teks seluruh karya Peterpan, menunjukkan bahwa secara rata-rata 1 kosakata diulang sebanyak 11 kali. Minimnya rasio varian dan tingginya pengulangan kata ini menunjukkan bagaimana Peterpan tidak terlalu kreatif memanfaatkan kekayaan ragam kosakata bahasa Indonesia.

Lebih rinci lagi, ada sebanyak 392 entri yang mengulang-ulang kata ‘aku’. Sedangkan entri kata ‘kau’ dapat porsi jauh lebih rendah, yakni dinyanyikan sejumlah 290 kali. Sisanya, lagu-lagu Peterpan didominasi oleh entri kata ‘hatiku’, ‘hancurkan’, dan ‘bintang’ seperti yang ditunjukkan dalam visualisasi word cloud berikut.



Tingginya porsi ke-‘aku’-an sebagai kata ganti orang ketiga yang ditempatkan jauh lebih unggul di atas ‘kau’ menyiratkan individualisme yang kuat sebagai ideologi utama dalam lagu-lagu Peterpan.

Tentang bagaimana individualisme ini diejewantahkan dalam tema lagu, topik yang diulas dan nuansa pesan yang dibawa bisa disimak lewat visualisasi sentimen berikut ini.



Dari visualisasi di atas kita bisa simpulkan bahwa sejatinya, lagu-lagu Peterpan adalah koleksi permenungan tokoh ‘aku’ dalam relasinya dengan ‘kau’ atas rasa kehilangan yang dalam, hubungan romantisisme dengan seseorang yang dicinta dan dinamika persahabatan.

Tapi ia bisa jadi depresif dalam menyikapi perpisahan, namun juga mampu tetap optimistik menjalaninya, dan memandang hidup lewat cara-cara yang imajinatif.

Spirit ini secara personal saya alami mengingat saya tumbuh bersama Peterpan di sejak awal kemunculannya di era 2000-an. Semangat masa puber di tahun-tahun itu, antusiasme remaja menuju dewasa, dan mimpi-mimpi yang saya gantungkan pada dunia akademis, sejalan dengan ajakan kontemplatif Peterpan. Bulan madu zaman reformasi 5 tahun sebelumnya masih jadi euroria saat itu, membuat banyak pemuda seperti kami di luar sana yang juga memimpikan kehidupan lebih baik dari kondisi sebelumnya.

Kontemplasi Bintang di Surga

Lewat debut album Taman Langit, pasar mainstream kembali diperkenalkan pada tema-tema persahabatan, kegigihan cita-cita dan sederhananya impian masa depan, serta bersahajanya hubungan sesama manusia. Tema-tema yang sebelumnya telah ditinggalkan band papan atas nasional atas pada zamannya.

Pendengar Peterpan mana saat itu yang bisa menolak semangat optimisme dalam bait pembuka ‘Aku & Bintang’, segarnya struktur melodi ‘Taman Langit’, dan nilai-nilai kedewasaan dalam ‘Semua Tentang Kita’.

Baca Juga  Sastrawan Harus Miskin

Seiring pemainan Uki dan Lukman yang kian mengisi kekhasan part-part gitar dan menjadi nyawa utama Peterpan, kemampuan Ariel menghasilkan lirik dan menyampaikannya lewat pilihan nada telah semakin matang dan beres secara konseptual di album kedua, Bintang di Surga (2004).

Simak saja petikan lirik ‘2DSD’ yang jadi track ke enam di album ini:

Kumenatap langit yang tenang
Dan tak kan menangisi malam
Tuk tetap berdiri ku melawan hari
Ku akan berarti ku takkan mati

Dinyanyikan lantang sebagai intro, ada sugesti kuat yang ditularkan lewat lirik sederhana dan dinyanyikan berulang-ulang sepanjang lagu seperti berdoa. Kontemplasi seperti ini boleh dibilang sudah jarang digarap sejak Slank, Dewa 19 dan Netral banting setir jadi penghasil lagu-lagu rock melayu galau di permulaan tahun 2000-an.

Jenakanya aransemen ‘Di Atas Normal’, larutnya ambience ‘Bintang di Surga’ dan puja-puji ‘Khayalan Tingkat Tinggi’ melengkapi pencapaian terbaik Peterpan sebagai band anak bawang dari pojokan Antapani, Bandung lantas menjelma jadi nama besar paling diperhitungkan di berbagai penghargaan. Semua pencapaian ini membuat frontman band mainstream manapun saat itu merasa perlu mengekor cengkok pita suara Ariel dalam bernyanyi dan menulis lirik.

Seperti yang juga muncul dalam visualisasi data, wajar bila kemudian lagu-lagu Peterpan banyak menyebarkan sentimen positif (sebanyak 36 persen). Meski beda tipis dengan sentimen negatif di urutan kedua (sebanyak 33 persen), ia juga mengandung sentimen yang netral di urutan terakhir (sebanyak 30 persen).

Beban Ideologi Lainnya

Yang justru menjadi catatan dari data visualisasi sentimen tersebut, isu sosial hanya 1 kali saja diangkat. Itupun lewat lagu daur ulang Titik Poespa berjudul ‘Kupu-Kupu Malam’ dalam album the best ‘Sebuah Nama, Sebuah Cerita’ (2008), bukan lagu orisinil ciptaan mereka.

Tema-tema semisal lingkungan hidup, budaya dan tradisi, serta spiritualitas seperti luput digarap.

Dari pembagian 10 jenis topik dan 3 sentimen yang ada, Peterpan ternyata tidak berminat menggali hal-hal yang ada di luar dirinya. Bagi saya ini problematis, sebab individualisme baru bisa bermakna ketika ia mengakarkan dirinya pada konteks sosial budaya dimana ia hidup.

Hal ini sangat disayangkan mengingat nama besar dan kemampuan Peterpan menggunakan platformnya untuk menyebarkan hal-hal yang lebih radix dalam mengubah dunia.

Apa pasal? Menurut hemat saya, ini adalah konsekuensi logis yang lahir dari kentalnya individualisme ala Peterpan. Sehingga pada gilirannya, ia menjadi beban ideologi dimana Peterpan tak hanya ‘kehilangan suara’ di album Suara Lainnya, tapi juga kehilangan cara untuk menjadi tetap aktual dan relate dengan semangat zaman yang terus berubah.

Dus, hari-hari terakhir Peterpan yang saya rasakan sehabis membaca buku Kisah Lainnya dan mendengar Suara Lainnya, berujung antiklimaks.

Lahirnya kolektif baru bernama NOAH yang alih-alih diharapkan bisa melanjutkan pencapaian Ariels cs lebih baik lagi, justru terancam stagnan dengan individualisme ala Peterpan dan dihantui bayang-bayang kesuksesan masa lalu.

Penutup: Menghapus Jejak Peterpan

Adalah mustahil bagi saya –dan banyak pemuda lain yang tumbuh bersama lagu-lagu Peterpan– untuk menghapus jejak karya mereka begitu saja hanya karena pergantian nama band.

Toh bersama NOAH, karya-karya Peterpan terbukti tetap hidup, direkam ulang lewat project tetralogi Second Chance dan mendapat pendengar baru seangkatan Iqbal Ramadhan dan Vanesha Prescilla.

Kalaupun Ariel dan kolektif barunya dianggap publik gagal di ‘kesempatan kedua’ ini, saya akan memandang NOAH sebagai entitas lain yang terpisah dari Peterpan, alih-alih mencibirnya band tribute to Peterpan.

Dengan begitu, Peterpan tetap hidup di perpustakaan musik kesukaan yang bisa kapan saja saya panggil dan nikmati.

Baca Juga

Review Buku Kumcer ‘Manusia Manusia’: Kisah yang Menjalar dari Ingatan ke Imajinasi

Preman Laut

Nusa Fantasma: Hantu Banda dan Nyanyian dari Laut

Preman Laut

Re-Visiting The Brandals Album Pertama

Preman Laut
Beranda
Berita
Esai
Opini
Resensi